Lihat ke Halaman Asli

Julie Chou

short strory author

Bisu

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dia seakan tahu kemana harus melangkah, entah sudah berapa lekuk yang ia jamah. Sesakali dia menoleh melihatku. Mungkin untuk memastikan apa aku masih ada di tempatku. Dan aku membalas tatapan itu dengan senyum kecil. Seolah dia membaca hatiku yang berkata “aku selalu mengikutimu”.

Di persimpangan depan dia berhenti, membuka pintu kamar, tanpa ragu menarik tangan ku ke dalam. Aku terus menatapnya dan dia kembali melucutiku dengan tatapan berbeda. Seperti kucing yang mengintai tikus kecil. Entah apa yang ada di pikirannya, aku tidak ingin tahu lebih banyak dari aku biasa menatap.

Aku mengagumi dia beberapa bulan ini, terus mengikuti akun pribadinya. Menyimpan beberapa fotonya. Hingga akhirnya kami hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama. Meluangkan beberapa jam ku hanya untuk menemaninya makan atau minum. Lalu dia memintaku untuk menemaninya ke hotel. Awalnya aku selalu menolak dan berkelakar, aku tidak mau terlibat cinta, dan cinta bisa datang dari sentuhan fisik. Dia tertawa lebar saat aku berbicara begitu, mungkin baginya lelucon. Lelucon bodoh untuk kehidupan gila ibukota.

Setelah dia berkali-kali mendesakku, aku menyerah. Yang dulunya kita sering duduk bersama untuk makan atau minum, menjadi lebih sering berdua di kamar hotel, seperti hari ini. Aku tidak pernah bisa mengelakkan bibirku dari kecupan liarnya. Menghindarkan tubuhku dari dekapannya. Ada rasa hangat menyeruak diantara kami. Kedamaian yang aku rasa setiap merebahkan tubuhku di sampingnya. Melingkarkan tangan di kegelisahan jiwa yang keluar dari hembusan nafasnya yang naik turun. Aku mencintainya. Hal yang salah untuk ku. Tapi rasa salah itu melebur dengan cepat bersama desahan kecilnya, dan semakin meluruh dengan bersama tetesan-tetesan keringat dari tubuh kami. Dan aku hanya terdiam, tersenyum menikmati lekat-lekat garis wajahnya.

Tepat jam tujuh pagi kita keluar dari hotel itu, saling berpisah tanpa senyuman, tanpa pelukan. Aku sempat menolehnya sesaat, bahkan mobilnya pun sudah tak terlihat. Aku menunggu taksi di sudut yang lain. Aku ambil handphone ku, 15 panggilan masuk dan rentetan pesan singkat. Aku lebih tertuju pada sebuah kalimat terakhir pesan singkat itu, “jam setengah 8 aku tunggu di tempat ku”.

Aku segera menghentikan taksi yang melintas, mengeluarkan benda kecil dari dalam dompet ku, dan mengenakan di jari manisku. Rumah sakit masih belum begitu ramai saat aku sampai, aku percepat langkah ku memasuki lorong-lorongnya dan berhenti di sebuah pintu dengan tulisan “Dr Irawan”. Aku mengetuknya perlahan.

“Masuk sayang” sebuah suara halus menjawab dari dalam.

Aku membuka pintu dan tersenyum, seorang dokter muda dengan garis muka halus tersenyum ke arahku, tapi tidak cukup halus menyembunyikan rasa khawatir di matanya. Lalu dia memeluk ku,

“Aku mengkhawatirkan dari semalam, kamu tidak membalas pesan ku” bisiknya. Aku memeluk erat dirinya. Tidak ada yang salah dengan kamu, atau dia. Yang salah hanya aku, gadis bisu dengan diagnosa HIV, dan pengkhianatan kecil atas tunangannya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline