Tidak bisa dipungkiri bahwa dewasa ini budaya Kpop sangat marak digemari oleh kalangan remaja dan dewasa muda di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh majunya arus globalisasi yang membuat masyarakat mudah untuk mencari hiburan dari berbagai aspek. Akan tetapi, alih-alih menjadi hiburan semata, kini banyak ditemui kasus penggemar Kpop yang memiliki obsesi atau impian berlebihan dan tidak realistis terkait idola mereka. Lantas, apakah pengemar Kpop benar-benar tidak bisa berpikir realistis, atau ada aspek lain yang perlu untuk dipahami lebih lanjut?
Istilah halu diambil dari kata halusinasi, yang dalam konteks penggemar kpop ini diartikan sebagai kecintaan yang berlebihan kepada idola sehingga mereka memiliki khayalan yang tidak realistis terhadap mereka. Generasi halu sendiri biasanya digambarkan sebagai penggemar yang memiliki fantasi berlebihan tentang kehidupan pribadi dan hubungan dengan idolanya. Beberapa karakteristik generasi halu adalah adanya obsesi yang berlebihan sampai-sampai rela menghabiskan banyak waktu untuk mendukung idola mereka, rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli merchandise yang dikeluarkan oleh sang idola, seringnya berfantasi tentang memiliki hubungan pribadi yang spesial dengan idola dan percaya bahwa hal itu akan benar-benar bisa terjadi, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan fandom seperti mengikuti fansign, menonton konser dan world tour, streaming, dan bentuk partisipasi-partisipasi lainnya baik itu secara online maupun offline.
Meski demikian, tak menutup fakta pula bahwa menggemari idola Kpop pun dapat memberikan beberapa dampak positif. Apa saja? Penggemar Kpop cenderung dapat bersosialisasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya, terutama jika orang tersebut memiliki kegemaran yang sama, sehingga tak menutup kemungkinan untuk memiliki komunitas bahkan dalam lingkup global. Memiliki selera fashion yang bagus dan cenderung dapat berpenampilan dengan baik di setiap situasi. Memiliki motivasi dan semangat hidup yang tinggi, sebagai seorang penggemar yang mengagumi idolanya, secara alami mereka pasti memiliki keinginan untuk bisa berbahasa asing. Keinginan untuk bisa membeli merchandise dan membeli tiket konser juga menjadi salah satu motivasi terbesar penggemar Kpop untuk terus belajar dan bekerja. Selain itu, manfaat secara emosional adalah kecenderungan untuk terus bahagia karena mereka memiliki hiburan yang bisa diakses kapan saja dan tentunya menghilangkan stres karena bisa untuk sejenak mengalihkan beban pikiran ke hal-hal yang membuat mereka terhibur (Sakinah, 2022).
Melihat adanya dampak positif maupun dampak negatif yang sudah dijelaskan sebelumnya, lantas bagaimana perspektif psikologis terhadap keadaan ini? Merujuk pada jurnal yang dipublikasikan oleh Dyana Putri Kristina Sintya Dewi dan Komang Rahayu Indrawati (2019), sebagian penggemar Kpop sudah berada satu tahapan dalam celebrity worship, kecenderungan untuk memformulasikan kedekatan dengan seorang idola, yang mengarah kepada perilaku disfungsional, yaitu supportive idolization yang mengarah pada tidak menormalisasikan seorang idol untuk tidak memiliki kehidupan pribadi, tidak boleh memiliki pasangan, dan menganggap mereka sebagai murni seorang idola yang harus terus-menerus memberikan hiburan kepada mereka. Selain itu, munculnyna istilah BIM (Bias is Mine) semakin memperkuat persepsi bahwa generasi halu di kalangan penggemar Kpop semakin marak dan merajalela.
Sebenarnya yang menjadi masalah utama dalam hal ini adalah intensitas seorang penggemar ketika mengidolakan idol Kpopnya. Menurut Gumelar pada jurnalnya, seorang penggemar Kpop yang bisa menyeimbangkan waktu untuk menggemari idola dan waktu untuk menjalani kehidupan pribadi justru membuat hobi ini menjadi memiliki dampak positif yang besar, seperti meningkatkan motivasi untuk terus belajar dan bekerja, menghilangkan stres, menjadi moodbooster, dan lain sebagainya (Gumelar, 2020).
Menjadi penggemar idola Kpop sejatinya memiliki plus minus-nya masing-masing. Jadi, apakah benar pernyataan yang menyatakan bahwa penggemar Kpop tidak bisa berpikir realistis? Jawabannya tentu saja tergantung dari intensitas penggemar itu sendiri dalam membagi waktunya antara menjadi seorang penggemar dan mnejalani kehidupan pribadi. Munculnya istilah generasi halu itu datang ketika seorang penggemar terlalu banyak menghabiskan waktu untuk memuja idolanya sehingga seperti tidak punya dunia lain untuk dijalani dan menyebabkan datangnya obsesi berlebihan terhadap sang idola. Oleh karena itu, sebagai seorang penggemar, sudah semestinya kita bisa membagi waktu untuk menyeimbangkan kehidupan kita supaya hanya dampak positif dalam menggemari idola Kpop yang kita dapat.
Referensi
https://jonedu.org/index.php/joe/article/view/653/516
file:///C:/Users/User/Downloads/54175-1165-128643-1-10-20191031.pdf
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/cognicia/article/view/15059/8975
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H