Kesuksesan adalah cita-cita bagi semua orang. Namun, proses untuk mencapai itu tidaklah mudah. Hanya mereka yang mau berjuang, berproses dari nothing menjadi something. From zero to hero. Dan tentunya mau keluar dari zona nyaman menjemput tantangan.
Atmaji Sapto Anggoro atau lebih dikenal dengan panggilan Sapto, adalah salah satu tokoh inspiratif di Indonesia yang sudah banyak malang melintang di bisnis media. Kiprahnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an.
Pada awalnya, beliau merintis karir dari bawah yaitu sebagai tukang cuci cetak foto di Surabaya. Namun ketika muncul teknologi cuci cetak foto kilat yang selesai dalam waktu 1 jam saja, beliau berpikir ulang. Bahwa tak selamanya pekerjaan ini menjanjikan. Meskipun beliau ahli di bidangnya, lambat laut pekerjaan cuci cetak foto manualnya akan tergerus oleh zaman dan tergantikan perannya oleh mesin.
Untuk sementara, beliau tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian.
Sebenarnya, Sapto memiliki keinginan menjadi penulis. Penulis merupakan profesi yang membutuhkan skill dan komitmen yang tinggi. Maka ketika beliau gagal masuk Akpol, Sapto memilih kuliah bidang jurnalistik di Surabaya. Kuliah sambil bekerja menjadi tukang cuci cetak foto pun dilakoni seperti yang sudah diceritakan diatas.
Setelah berhenti menjadi tukang cuci cetak foto, beliau melamar pekerjaan untuk menjadi wartawan di Surabaya Pos. Kebetulan saat itu ada lowongan pekerjaan untuk wartawan olahraga. Saingannya kebanyakan teman kuliahnya sendiri, karena hampir 50% teman sekampusnya turut mengirimkan lamaran. Dalam surat lamarannya, Sapto pun turut menyertakan contoh tulisannya. Kreativitas dan strategi yang dilakukannya ini jelas tidak diajarkan di sekolah, namun Sapto mampu melihat peluang dan memanfaatkannya. Jelas pembelajaran tentang hal ini sangat penting. Tidak semua orang memiliki bakat di bidang menulis serta memiliki strategi yang cukup baik. Keberuntungan berpihak pada Sapto, karena kemampuan menulisnya mampu mencuri hati redaktur di Surabaya pos. Sapto kemudian menerima panggilan dan contoh tulisannya dimuat di harian Surabaya Post.
Selain kemampuan menulis, lambat laun Sapto pun memiliki keahlian mengedit tulisan setelah satu setengah tahun bekerja di media tersebut. Ilmunya bertambah.
Tak lama kemudian, Sapto mendapat tawaran dari seorang teman bahwa ada lowongan pekerjaan di surat kabar Buana Pos. Tawaran tersebut tidak lantas diterimanya. Ada banyak pertimbangan yang harus dipilih. Namun Sapto akhirnya berubah pikiran setelah merunut kembali karirnya di surat kabar Surabaya Post. Sapto merasa karirnya akan stagnan dan butuh proses lama untuk naik. Akhirnya beliau menerima tawaran temannya untuk bekerja di Buana Pos karena tulisannya memang bagus.
Meskipun penghasilannya belum seberapa, namun Sapto mampu melihat keuntungan lain dibalik uang kecil. Potensi ke masa depan jauh lebih penting dari sekedar rupiah kecil saat ini. Itu yang terlintas di benaknya. Maka beliau terus mengasah kemampuannya di Buana Post, meskipun akhirnya hanya mampu bertahan setahun kemudian memutuskan untuk berhenti.
Lalu Sapto pindah kerja ke harian Republika tahun 1993. Dari sini, Sapto turut serta membidani lahirnya detik.com pada tahun 1998. Saat itu, posisi jabatannya di Republika sudah bagus. Lalu beliau mendapat tawaran apakah bersedia untuk bergabung dengan detik.com? Beliau berpikir apakah ini akan menjanjikan. Tidak ada gaji pasti. Yang pasti diyakininya hanyalah pengertian bahwa masa depan adalah internet.
Di tahun 1999, detik.com mendapat investasi dari Hongkong senilai 24 milyar. Sapto diminta bantuannya untuk mencari wartawan dalam jumlah yang cukup banyak. Karirnya pun makin terbentang lebar di detik.com.