Lihat ke Halaman Asli

Falsafah Sedulur Papat Kalima Pancer

Diperbarui: 26 Oktober 2022   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Julia Riyani Novia Ningsih

NIM : 43221010007

Kampus : Mercu Buana (Meruya)

Dosen : Apollo, Prof.Dr,M.Si.Ak

Di masa lalu, Desa Pajeng merupakan potret buram dari desa yang terbelakang, miskin, terbelah dan menyisakan berbagai torehan luka akibat konflik dan kekerasan politik sejak tahun 1955 sampai dengan 1968. Potret buram ini senafas dengan hasil C.L.M Penders (1984) ilmuwan Department of History University of Queensland, Australia yang menyimpulkan bahwa Bojonegoro adalah contoh yang sempurna dari "Kisah Kemiskinan Endemik". 

Keterbelakangan dan kemiskinan di Bojonegoro merupakan konstruksi struktural yang secara sistematis dan masif dibangun sejak jaman kolonial. Bentang pandang Desa Pajeng yang berbukit-bukit dan berada di ketinggian 194 -- 260 meter di atas permukaan air laut. Diapit oleh Gunung Pandan di sebelah tim ur dan Gunung Kendeng di sebelah selatan. 

Sebelah utara Desa Pajeng berbatasan dengan Desa Kedung Sumber Kec. Temayang, di tim ur berbatasan dengan Desa Soko Kec. Gondang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Gondang Kec. Gondang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk.

Secara geografis, Desa Pajeng hanya mempunyai lahan pertanian berupa sawah tadah hujan, dan yang hanya bisa ditanami ketika musim penghujan. Itu pun hanya seluas 375 ha. Selebihnya, warga hanya menjadi pesanggem dengan tumpang sari di tanah kawasan hutan, menggunakan lahan seluas 1600 ha. 

Seperti lazimnya desa-desa di perbatasan, Desa Pajeng juga terisolir dari kegiatan ekonomi maupun sosial kepemerintahan. Sebanyak 53,4 % adalah petani yang memiliki luas lahan hanya sekitar 0,3 Ha dan sebanyak 13,1 % (529 jiwa) buruh tani. Dunia sosio-kultural yang menonjol dalam tata kehidupan warga Desa Pajeng adalah adanya sistem keyakinan yang tidak pernah lekang oleh waktu. Sistem keyakinan itu termanifestasi dalam hal kepemimpinan, tradisi nyadran dan ritual kematian. 

Tentang kepemimpinan, warga Desa Pajeng meyakini bahwa pemimpin dari Desa Pajeng haruslah yang berasal dari Pajeng. Apabila Kepala Desa Pajeng bukan orang asli Pajeng, maka sumber mata air Sendang Ubalan Senganten yang terletak di dekat punden Mbah Surosentono akan surut. Bahkan  pernah terjadi di tahun 1960-an, saat itu kepala desa berasal dari luar Desa Pajeng, air sendang berubah menjadi merah, mengering dan berdebu.

Surutnya Sendang Ubalan Senganten itu pernah terjadi pada saat kepemimpinan Kepala Desa Jayin dan Midi yang keduanya berasal dari Nganjuk. Nyadran atau sedekah bumi merupakan tradisi warga untuk menghormati leluhur dan bersyukur terhadap alam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline