Lihat ke Halaman Asli

Reparenting: Belajar Ulang Jadi Ayah

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


[caption id="attachment_116365" align="aligncenter" width="306" caption="Sekolah Menjadi ayah di rumah. Jika Gagal maka lakukan reparenting (Google)"][/caption]

Menjadi dokter dan insinyur ada sekolahnya, tetapi menjadi Ayah yang lebih penting dari dokter tidak ada. 'Sekolah' menjadi Ayah itu  di rumah. Jika kita dapat teladan baik dari Ayah kita, betapa beruntungnya kita - Pelikan

  • Masalah pengasuhan anak dan konflik komunikasi Ayah-Anak bukan disebabkan kita kurang memahami teori menjadi ayah, tetapi karena minimnya teladan baik dari Ayah kandung kita. Juga bukan karena kurangnya perasaan cinta kita sebagai ayah, tetapi karena minimnya skil parenting (ketrampilan keayahan) dalam diri kita.

Takut Jadi Ayah

Anak sulung kami bernama Josephus. Saat Joseph lahir, ada perasaan senang luar biasa  dalam diri saya. Saya sudah menjadi Ayah. Namun…..perasaan senang  itu hanya sekejap. Mendadak muncul rasa takut dan cemas. Muncul satu pertanyaan di pikiran saya yang menggelisahkan:

Apakah saya bisa menjadi Ayah yang baik buat Josephus ini...?”

Saya tidak bisa menjawabnya.  Diam-diam saya menjerit : " Oh, Tuhan tolong saya supaya tidak gagal menjadi Ayah..."

Saya memang merasa tidak yakin bisa jadi ayah yang baik. Saya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan itu. Kenapa?

Sebelum Joseph lahir, saya adalah suami yang buruk bagi mamanya.  Kami sudah menikah dua tahun baru mendapatkan joseph. Dua tahun itu pernikahan kami penuh konflik. Meskipun saya punya teori bagaimana menjadi suami yang baik, tapi dalam praktek saya adalah suami buruk. Saya sering membuat istri susah dan menangis. Saya menjadi kuatir, jangan-jangan saya punya teori tentang menjadi Ayah yang baik, tapi gagal menjadi ayah yang baik buat Joseph.

Ternyata benar. Beberapa tahun awal dari kehidupan anak sulung maupun si bungsu, saya merasa gagal. Miskinnya skil Ayah, membuat saya lebih banyak menyerahkan pengasuhan anak pada istri saya. Jelas saja istri saya keberatan, sebab dia pun bekerja. Sering malam hari saya malas bangun membantu istri mengganti popok bayi Joseph.  Itu baru satu masalah.

Masalah lain adalah, cara saya mendidik cenderung membiarkan, sebab saya tidak tahu cara mendisiplin. Beda dengan istri saya yang biasa dibesarkan mamanya  dengan disiplin. Itu masalah kedua yang membuat kami sering ribut. Istri merasa dirinya benar, saya merasa cara sayalah yang paling benar (padahal… Jangan beritahu nyonyaku ya: caraku itu salah)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline