Oktober sudah datang, ada yang pergi dan juga ada yang datang, seperti halnya wakil rakyat kita DPR. Kemarin 1 Oktober DPR resmi berganti, wajah baru di kursi banyak sekali namun wajah lama pun juga ada. Periode DPR 2014 -- 2019 ditutup dengan sidang paripurna yang kontroversial bagi masyarakat khususnya mahasiswa yang menyuarakannya.
Di akhir jabatan DPR periode 2014 -- 2019 berakhir, DPR peiode tersebut mengesahkan RUU KPK yang banyak di tentang oleh para mahasiswa. Dan juga yang paling menarik ialah ingin disahkannya RUU KUHP. Mahasiswa yang melihat ini, sontak melakukan aksi di depan gedung DPR karena ingin mensahkan RUU KUHP. Di tengah RUU tersebut banyak goncangan yang terjadi karena sejumalah mahasiswa menolak dengan keras RUU.
DPR menjawab langsung respon mahasiswa dengan menyatakan, RUU KUHP ditunda di periode selanjutnya. Perlakuan DPR tersebut bukan tanpa alasan, unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa bukan sembarangan unjuk rasa, hampir seluruh elemen kampus mengikuti unjuk rasa baik itu yang ada di ibu kota maupun daerah.
Presiden Jokowi juga menginstruksikan bahwa RUU KUHP sebaiknya ditunda dan ada beberapa pasal yang ditolak oleh Presiden, seperti pasal penghinaan presiden yang mana menurut presiden, seharusnya pasal tersbeut tidak perlu.
Dengan ditundanya RUU KUHP membuat masyarakat dan mahasiswa bisa sedikit bernafas lega, karena tidak disahkan di era sekarang ini. Namun tetap pembahasan tetap akan terjadi karena DPR 2019 -- 2024 akan membahas RUU tersebut.
Lepas dari itu semua ada RUU yang sudah disahkan oleh DPR dan Pemerintah, yaitu pasal RUU KPK yang membuat KPK semakin diperlemah menurut pengamat dan lembaga anti korupsi. Pengesahan tersebut membuat DPR sontak menjadi bulan -- bulanan mahasiswa dan masyarakat.
Penolakan dan pencabutan RUU KPK di dorong mahasiswa kepada Presiden agar menarik RUU tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan oleh Presiden ialah dengan mengeluarkan PERPPU. Namun langkah ini tidak mudah bagi elemen masyarakat karena banyak campur tangan politik yang bermain di dalamnya.
Presiden pun barang kali untuk mengeluarkan PERPPU tidak mudah juga, karena banyak permainan politik yang harus di emban Presiden jika akhirnya mengeluarkan PERPPU tersebut. Namun, jika ingin menggugat pasal RUU KPK bisa lewat mekanisme yang lain, yaitu dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini di dukung oleh pernyatanan BEM Nusantara yang menginginkan judicial review ketimbang harus berdemonstrasi.
Langkah mengajukan judicial review sebenarnya sudah tepat dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa, tetapi harus melalui proses yang panjang dan berat sedangkan pasal tersebut sudah disahkan.
Faktor lain juga, Presiden bisa menjadi sudah menurun kredibilitasnya jika tidak mengeluarkan PERPPU dengan segera, namun Presiden Jokowi berinisiatif baik dengan mendatangkan tokoh - tokoh masyarakat dan bangsa terkait RUU KPK untuk dimintai pendapat. Dan kabar baiknya, Presiden akan mengeluarkan PERPPU segera.
Polemik dengan pasal -- pasal baru membuat DPR peridoe baru kian tersudut, di lain pihak masyarakat menolak dan mengguagat pasal RUU KUHP sedangkan DPR baru saja mulai, sudah ada tugas berat yang merintangi jalan DPR periode 2019 -- 2024.