Lihat ke Halaman Asli

Julianda Boangmanalu

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam

Upaya Hukum Bila Keberatan RKUHP Disahkan

Diperbarui: 3 Juli 2022   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi RKUHP (sumber: nasional.sindonews.com)

Rencana Pemerintah dan DPR RI yang akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menyisakan polemik.

Dilansir dari nasional.sindonews.com, dalam RDP antara Kemenkumham dan Komisi III DPR yang dilaksanakan pada 25 Mei 2022 lalu dibahas soal 14 isu yang masih menjadi perdebatan. Isu krusial diantaranya yang masih menjadi  perdebatan, yaitu tentang pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Delik tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden tercantum dalam Pasal 217 sampai Pasal 220 draft RKUHP versi 2019. Pemerintah mengusulkan agar ketentuan tindak pidana penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden pada Pasal 218 Ayat (1) RKUHP bersifat delik aduan dengan ancaman hukuman maksimal 3,5 tahun penjara.

Terkait pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006, berbeda dengan pasal yang ada dalam RKUHP. Sebelumnya, pasal yang dibatalkan MK, delik tersebut adalah delik biasa, sementara yang ada dalam RUU KUHP ini adalah delik aduan. 

Perbedaannya, pada delik biasa proses pidananya bisa dilakukan tanpa adanya aduan dari presiden atau wakil presiden. Sedangkan pada delik aduan, terlebih dahulu harus ada pengaduan secara tertulis dari presiden atau wakil presiden.

Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan bila pasal tersebut disahkan?

Ada dua upaya yang bisa dilakukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan (menolak) jika RKUHP tersebut disahkan. Yaitu, upaya hukum dan upaya non hukum. 

Upaya hukum dilakukan dengan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan upaya non hukum dapat dilakukan dengan aksi penolakan secara non yudisial dari kalangan masyarakat.

Setiap orang yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, dapat mengajukan judicial review . Judicial review merupakan proses pengujian undang-undang terhadap UUD yang dilakukan oleh MK.

Upaya hukum ini merupakan tindakan yang sah secara hukum bila suatu undang-undang dianggap merugikan secara konstitusional bagi setiap warga negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline