Salah satu keistimewaan yang dimiliki Aceh adalah di bidang hukum adat dan adat istiadat. Keistimewaan tersebut diatur dalam UU No. 44 Tahun 1999.
Tradisi masyarakat Aceh dalam penyelesaian sengketa adat dilakukan melalui musyawarah adat.
Tradisi tersebut sudah lama melekat dalam nilai-nilai adat yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Adat yang dipahami selama ini secara tidak tertulis, seiring perkembangannya dijadikan sebagai hukum yang tertulis dan diformalkan dalam sebuah legislasi.
Hukum adat kini menjadi sebuah peraturan yang tertulis yang dituangkan dalam peraturan daerah. Peraturan daerah di Aceh disebut dengan Qanun.
Keuchik (Kepala Desa) selain berfungsi sebagai kepala pemerintahan gampong (desa), di Aceh, juga berfungsi sebagai lembaga adat, yakni sebagai hakim dalam penyelesaian sengketa adat.
Sebagai pelaksana fungsi yudisial tersebut, Keuchik diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat. Sesuai dengan Qanun Aceh No 10 Tahun 2008.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai hakim perdamaian, Keuchik berwenang menyelesaikan 18 jenis sengketa. Sesuai Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008. Diantaranya, perselisihan dalam keluarga, pencurian ringan, penganiayaan ringan, dan lain-lain.
Legalitas pelaksanaan kewenangan ini diatur secara tegas dan jelas berdasarkan hirarki berikut:
1. Pasal 18B UUD.