Lihat ke Halaman Asli

Julianda Boangmanalu

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

My Mother Is a Wonder Woman

Diperbarui: 16 November 2020   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Sosok yang paling inspiratif dalam sejarah panjang kehidupanku adalah Ibundaku tersayang yang telah melahirkan dan membesarkanku. Begitu banyak memoar yang tak akan bisa untuk ditorehkan dalam lembaran-lembaran kertas.  Tinta pena tidak akan pernah cukup untuk menguraikan kisah yang pernah Ia torehkan dalam perjalanan hidupku.

Masih teringat cerita Bapak tentang perjuangannya untuk bisa menikahi Ibu. Bapak dengan modal tekad dan rasa cintanya yang mendalam, memberanikan diri melamar Ibu. Tanpa ada materi apalagi singgasana yang dijanjikan Bapak pada Ibu bak cerita serial drama percintaan di televisi.

Melihat kesungguhan Bapak, membuat Ibu juga sangat mencintai Bapak dengan apa adanya. Sangking cintanya, Ibu rela memberikan cincin emas belah rotan seberat satu mayam kepada Bapak sebagai uang mahar pernikahan mereka.

Nenek (Ibunya Ibu) sempat keberatan atas lamaran Bapak karena Bapak bukan orang kaya atau paling tidak orang yang punya harta yang bisa dibanggakan. Wajar saja, karena Nenek juga tidak mau kelak putrinya (Ibu) menderita bersama Bapak dalam mengarungi biduk rumah tangga.

Karena kesungguhan mereka berdua dan didorong oleh besarnya rasa cinta, akhirnya perkawinan mereka berlangsung dengan sangat sederhana. Hanya mengundang saudara dekat dan beberapa tetangga saja dengan acara syukuran yang seadanya.

Biduk rumah tangga pun dilalui bersama. Lebih banyak cerita susah yang mereka lewati bersama ketimbang cerita bahagia. Getirnya perjuangan hidup yang mereka lalui. Hidup serba kekurangan bahkan untuk makan saja susah diperoleh terkadang harus rela menahan lapar.

Makan nasi pakai ikan asin sekali sehari saja sudah sangat disyukuri. Sering sekali harus makan singkong yang ditanam Ibu dibelakang pekarangan rumah. Namun semua dilewati dengan lapang dada. Ibu tidak pernah mengeluh kepada bapak karena keterbatasan ekonomi yang dihadapi.

Pernah suatu saat, Bapak menderita sakit pada Lambung yang sudah sangat parah. Selama setahun Bapak hanya bisa berbaring dengan kondisi badan yang sangat kurus, sedangkan Ibu harus mencari nafkah untuk biaya hidup dan beli obat-obatan untuk Bapak serta menafkahi kami empat orang anaknya. Saat itu, aku adalah anak yang paling kecil baru berusia tiga tahun.

Kondisi ini tidak membuat ibu menyerah, karena Ia harus menjadi Ibu Rumah Tangga sekaligus sebagai Kepala Keluarga yang menggantikan tanggungjawab Bapak untuk mencari nafkah.

Ibu menjadi buruh harian di kebun tetangga yang membutuhkan pekerja. Terkadang ia juga menjadi buruh deres di kebun karet milik toke getah. Semua pekerjaan Ia lakukan tanpa pandang bulu, yang penting bisa menghasilkan rupiah untuk kami anaknya.

Tanggungjawab dan beban yang semakin berat harus dipikul sendiri oleh Ibu. Tidak ada saudara yang dapat dijadikan tempat mengadu untuk meringankan sedikit saja beban hidup keluarga kami. Kondisi ekonomi yang terpuruk membuat kerabat seakan menjauh dan tidak perduli dengan keadaan kami. Tidak ada yang bisa diharap dari pertolongan orang lain. Semua harus dilakukan Ibu sendirian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline