Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah Bawang Putih

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

cover sepenggal kisah bawang putih_001

Sepenggal Kisah Bawang Putih[1]

Julian Adam Ridjal[2]

http://adamjulian.net

[1] Materi ini disampaikan di Dialog Interaktif RRI Pro 3 Sambung Rasa Nusantara 15 Maret 2013 [2] Dosen PS Agribisnis Universitas Jember ====================================================== 12 maret 2013 Selasa, 12 Maret 2013 sekitar pukul 09:00 saya mendapat informasi harga bawang putih di pasar Tanjung (pasar besar di Kabupaten Jember) berkisar Rp. 80.000,-/kg. Selang beberapa jam kemudian, sekitar pukul 18:00 ada informasi di stasiun televisi swasta yang menunjukkan bahwa harga bawang putih di Kabupaten Jember sudah menembus Rp.100.000,-/kg. Informasi seperti ini, tentunya akan menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi?, padahal harga bawang putih sebelumnya/sewajarnya sekitar Rp. 28.000,-/kg. Jika diulas berdasar teori ekonomi, kita tentunya sudah tahu bahwa kenaikan harga suatu komoditas disebabkan oleh kelangkaan (scarcity) meskipun permintaan (demand) komoditas tersebut adalah tetap. Kelangkaan komoditas ini perlu kita telusuri jejak permasalahan dari awal, kira-kira apa yang menjadi penyebabnya. Kelangkaan diartikan bahwa stok (supply) dari komoditas semakin berkurang. Sehingga dalam teori ekonomi, secara kurva maka garis Supply akan bergerak ke kiri atas, dan berdampak pada kenaikan harga. Apabila pergerakan ini tidak diantisipasi melalui kebijakan yang ada, maka pergerakan akan semakin tajam dan dampak yang pasti muncul adalah kenaikan harga yang sangat drastis dalam hitungan jam atau bahkan menit. Pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan dihadapkan pada dilema dimana satu sisi harus memperhatikan konsumen (demand) dan di sisi lainnya memperhatikan produsen (supply), karena baik konsumen maupun produsen adalah rakyat Indonesia. Kebijakan ini berusaha menjaga agak komoditas yang ada di pasaran dapat terbeli sesuai daya beli konsumen sedangkan produsen tidak mengalami kerugian dari penjualan tersebut. Kebijakan ini biasa kita kenal dengan Buffer Stock Policy atau Kebijakan Penyangga. Kebijakan ini pada prinsipnya diterapkan pada komoditas strategis yang ada di Indonesia, semisal beras, karena komoditas ini merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Dengan berubah fungsinya Bulog pada tahun 2003 menjadi profit oriented, maka peran lembaga ini perlu dikuatkan oleh Inpres apabila dibutuhkan untuk menangani masalah nasional seperti kasus kelangkaan kedelai tahun 2008. Tentunya tidak menutup kemungkinan jika dalam mengatasi permasalahan ini Bulog dilibatkan. Apabila terdapat kasus pergeseran kurva Supply ke kiri atas maka Pemerintah perlu melakukan operasi pasar untuk mencari sebab dari kelangkaan komoditas bawang putih ini. Kelangkaan atau berkurangnya supply dari komoditas bawang putih ini dapat diperkirakan apakah karena stok dari bawang putih yang memang minim di pasaran ataukah ada beberapa pihak (spekulan) yang bermain di dalamnya.

  1. 1. Perkiraan yang pertama dimana stok bawang putih memang minim di pasaran menjadi perhatian khusus bagi kita semua.

History dari bawang putih yang beredar di pasaran selama ini sebagian besar adalah bawang putih impor. Adalah kebijakan yang baik apabila Pemerintah sudah menerapkan batasan terhadap setiap komoditas impor dengan tujuan agar komoditas yang beredar di pasaran lebih diutamakan produk domestik (petani Indonesia). Akan tetapi, baiknya kebijakan tersebut harus didukung dengan semangat yang tinggi untuk mendorong kegiatan usahatani komoditas produk domestik mulai dari perhatian di tingkat input hingga output dan pasar (kepastian harga jual yang sesuai). Sebagai contoh kebijakan dalam pemberian subsidi input usahatani seperti pupuk bersubsidi atau dapat juga program pendampingan petani oleh penyuluh agar dapat berusahatani lebih baik dan masih banyak contoh lainnya. Menurut literatur yang menjelaskan tentang produksi bawang putih dapat mencapai 10 hingga 13 ton umbi kering/ha/musim tanam dengan syarat ditanam pada ketinggian 1000 m dpl. Sedangkan di Indonesia, lahan pertanian dengan syarat ketinggian seperti itu adalah terbatas. Apabila bawang putih ditanam di lahan pada ketinggian + 600 m dpl, maka produksi yang dihasilkan sekitar 6 hingga 9 ton umbi kering/ha/musim tanam. Tentunya varietas yang ditanam juga harus disesuikan dengan kondisi iklim yang ada. Sebenarnya dengan dilakukannya penelitian untuk membuat varietas yang disesuaikan dengan kondisi iklim wilayah tentunya dapat dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia. Sehingga kebijakan pembatasan impor bawang putih yang dilakukan Pemerintah disertai dengan program yang dapat membuat produksi nasional dapat mencukupi kebutuhan domestik (swasembada). Sebagaimana kita tahu bahwa impor selayaknya dilakukan apabila kita membutuhkan komoditas tersebut dan produksi nasional tidaklah mencukupi kebutuhan domestik. Tetapi, impor sebaiknya tidak dilakukan terus menerus apabila kita ingin berswasembada komoditas tersebut. Sembari kita impor, kita juga harus menggiatkan produksi nasional agar sedapat mungkin produksi nasional dapat mencukupi kebutuhan domestik sehingga pembatasan impor atau bahkan jika perlu tidak impor lagi terhadap komoditas tersebut. Impor jika dianalogikan pada tubuh manusia adalah apabila kita sakit dan daya tahan tubuh menurun maka untuk dapat segera sembuh, kita perlu obat. Tetapi, jika ketahanan tubuh sudah dapat mengatasi sakit maka kita dapat mengurangi konsumsi obat atau jika perlu dihentikan konsumsi obat tersebut. Selain itu, jika dicermati dari pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih suka bawang putih impor daripada lokal karena ukuran dari tampilan umbi yang lebih besar. Perlu kita perhatikan bahwa besarnya ukuran umbi dari bawang putih impor adalah karena di tempat asalnya, tanaman ini mendapat sinar matahari yang lama daripada di Indonesia disertai dengan suhu dan kelembaban rendah. Sedangkan di Indonesia yang bersuhu tropis akan menghasilkan ukuran umbi bawang merah yang kecil, tetapi dengan kandungan minyak asiri yang tinggi daripada bawang putih impor. Pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap bawang putih lebih suka membeli dalam bentuk segar, sehingga ukuran yang besar akan menggiurkan. Padahal apabila bawang putih tersebut diolah maka yang unggul dalam rasa adalah bawang putih lokal/domestik.

  1. 2. Perkiraan yang kedua adalah adanya pihak (spekulan) yang menimbun komoditas bawang putih demi keuntungan pribadi.

Pada perkiraan yang kedua ini menjadi masalah yang perlu segera ditindak lanjuti oleh Pemerintah adalah menerapkan sangsi tegas sesuai aturan/perundang-undangan yang berlaku. Sepenggal kisah bawang putih di atas dapat disimpulkan kebijakan apa yang perlu dilakukan : Jika stok bawang putih yang memang minim di pasaran maka penanganan masalah ini dapat diselesaikan dalam : Jangka pendek : berusaha menambah kuota impor dengan aturan yang ketat, dalam artian harus bijak dalam impor agar tidak merusak program swasembada yang akan ditempuh. Jangka panjang : Program Pemerintah (mulai input sampai output dan pasar) dalam mendukung kebijakan swasembada komoditas bawang putih harus dilakukan secara bijak dan serius. Apabila penyebab kelangkaan bawang putih adalah ulah dari spekulan, maka tindakan tegas dari Psemerintah perlu dilakukan dengan segera dan adil. (http://adamjulian.net).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline