Lihat ke Halaman Asli

Tentang Sebuah Kehilangan

Diperbarui: 29 November 2020   15:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Julhermanto Limbong

@julherlimbong

Saya sangat bangga punya ayah seorang tukang perahu. Karena itu saya tidak pernah malu kalau ada yang bertanya apa profesi orang tua saya. Tidak ada kata menyesal yang terbesit dalam pikiran lahir sebagai anak tukang perahu. Apalagi saat kawan-kaan sekolah saya saling membanggakan profesi dari ayah mereka.

Banyak yang saya banggakan dari sosok ayah. Meskipun pekerjaannya yang hanya bermodalkan gergaji, martil, kapak, cat minyak, dan alat lainnya. Tubuhnya yang sedikit berisi dan tinggi berbalut kaos sederhana dengan kancing dua dibawah kerah serta memiliki saku di bagian dada kiri yang sering dikenakan ayah saat bekerja. Namun diluar itu semuanya, ayah sangat tegas dalam mendidik anak-anaknya, pandai bersyukur, bahkan kepahitan hidup pun selalu disyukuri.

Dari cerita ayah, dulu Dia hanya seorang penjual kepiting rebus keliling. Hidup cukup dan pas-pasan. Karena ayah memiliki anak banyak, membuatnya harus beralih profesi sebagai tukang perahu untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi demi mencukupi kebutuhan rumah tangga dan anak-anaknya.
Tidak seperti ayah orang lain, yang setiap libur sekolah membawa anak-anaknya berlibur ke luar kota atau ke tempat liburan lainnya. 

Tapi karena kondisi keuangan yang tidak mendukung ayah hanya membawa kami berlibur ke laut seperti kegiatan memancing ikan dan mencari kerang. Ayah sangat bangga terhadap pencapaian anak-anaknya, seperti Abang yang lolos tes TNI, tiga kakak yang mampu kuliah dengan biaya sendiri, dan saya yang selalu mendapatkan prestasi bagus disekolah.

Sifatnya yang terbuka, riang, dan pandai berhitung membuat Ibu cemburu hal itu. Tidak lain ibu juga berasal dari keluarga yang kurang mampu, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. 

Ketika mereka menikah, Ayah yang awalnya bekerja sebagai penjual kepiting rebus keliling dan Ibu bekerja sebagai petani tidak pernah menuntut seberapa banyak uang yang didapatkan ayah. Mereka tetap menikmati hidup. Bekerja sebagai tukang perahu tidak membuat martabatnya jatuh dan keceriaannya pupus.

Karena tinggal di daerah yang memiliki keunikan dalam memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan. Daun sagu yang setiap minggunya dikumpulkan bisa diolah sebagai penutup atap rumah menjadi penambah pemasukan bagi keluarga kami.

Sampai suatu ketika, penyakit menggerogoti tubuhnya. Fisik yang dulu kuat sekarang  tak mampu lagi menopang semangatnya. Dalam keseharian ia lebih banyak berbaring daripada bekerja. Sesekali dengan sisa tenaga, dia memaksa untuk bekerja.

Suatu hari ayah mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaannya hingga pesanan pembuatan perahu sering kali ditolak karena kondisi kesehatan ayah yang semakin tidak baik. Ayah akhirnya meninggal. Dia kalah oleh penyakitnya. Tepat pada bulan Puasa dihari Jumat. Suara isak tangis keluarga dan semua orang-orang dirumah membuat suasana haru saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline