Lihat ke Halaman Asli

Hujan dan Secangkir Kopi

Diperbarui: 28 November 2020   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Julhermanto Limbong

@julherlimbong

Kutelusuri jalan yang masih basah dari sisa air hujan. Kupandangi langit yang penuh warna abu gelap seakan belum puas menyirami bumi dan seolah menyuruhku untuk singgah di sebuah minimarket.

Tidak hanya membuat genangan, hujan juga mengingatkan akan sebuah kenangan. Kenangan antara aku dan kau yang dulu adalah kita. Dan kini kau pergi meninggalkanku dengan kesendirian.

Lantas apa arti semua kenangan itu. Kenangan yang manis untuk dilupakan namun begitu pahit untuk dikenang.

Banyak hal yang membuat kita ragu untuk menjalani sebuah hubungan. Hingga kau pergi meninggalkan kita, kau menyerah begitu saja. Entah alasan apalagi yang harus kukatakan agar kita tetap bertahan.

Bahwa akhirnya hal yang tak pernah kuduga antara janjimu dan janjiku akhirnya tergugat. Janji apalah janji tanpa sebuah ketepatan.

Seandainya kau tahu aku menitipkan sebuah harapan pada ribuan rintik-rintik hujan. Kau tahu harapan itu apa? Aku ingin hari depanku selalu bersamamu.

Bagiku, hujan menyimpan senandung liar yang membisikkan 1001 kisah. Namun kisah itu sekarang pahit seperti kopi hitam dimeja hadapanku.

Dentingan sisa-sisa air hujan di atas atap seakan menjadi seruling alam yang mengajak mataku tuk terpejam. Apakah aku merasa ngantuk, mungkin saja atau entahlah.. 

Suasana dingin menyelimuti tubuh yang merindukan hangatnya pelukmu kini hanya tinggal pelik saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline