Lihat ke Halaman Asli

Camping Part 2 at Dibba, Musandam Peninsulla Oman

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ajakan berkemah datang lagi!. Masih hangat terasa sensasi seru nya berkemah di emphty quarter yang kami lakukan bulan lalu. Kini Indo emirates-sebuah wadah untuk komunitas WNI di Ruwais Abudhabi- mengundang para anggotanya untuk berkemah ke lokasi yang lebih jauh lagi, melintasi Negara UAE. Ke Oman lah kami akan berangkat, singgah dan berkemah. Berbekal pengalaman sewaktu di Liwa kali ini persiapan yang kami lakukan lebih matang, demi kenyamanan saat berkemah nanti. Tenda yang lebih besar supaya tidur tak berdesakan, selimut yang lebih banyak, bantal-bantal dan makanan-makanan kecil.

D’ Campingers

Awalnya peserta yang mendaftarkan diri untuk kegiatan berkemah kali ini sama seperti berkemah di Liwa bulan lalu yaitu sekitar 14 keluarga. Namun ketika waktu keberangkatan tiba peserta yang fix berangkat tinggal tersisa 7 keluarga. Sebelum keberangkatan kami mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mematangkan persiapan. Cuaca yang akhir-akhir ini sangat dingin dan seringnya badai debu membuat banyak penduduk Ruwais yang terkena sakit flu dan batuk bahkan chicken pox dan informasi dari berita-berita di media massa yang menyebutkan bahwa Fujairah UAE lokasi yang terdekat dengan Dibba Oman sangat dingin bahkan di beberapa puncak bukit batu turun hujan salju, akhirnya dengan alasan-alasan tersebut membuat beberapa keluarga memutuskan untuk tidak berangkat.

Akhirnya inilah kami, D’Campingers, para penyuka kemping, 7 keluarga dan satu orang bachelor yang berangkat untuk berkemah di Musandam Dibba, Oman. Seperti bulan lalu, waktu keberangkatan terbagi dua term. Hari pertama berangkat kamis 9 februari pukul 5 sore, di kloter pertama ini 4 keluarga yang berangkat yaitu keluarga Herry Sadewo, Partondo Catur Nugroho dan Agus Haryanto, sedangkan keluarga Mardian Purwanto (presiden Indo emirate) sudah berangkat di pagi hari karena ada kepentingan pribadi mampir terlebih dahulu di Abudhabi. Kloter kedua berangkat jum’at 10 Februari pukul 9 pagi dengan 3 keluarga yaitu, kami (lukman Setiawan), Amrizon, Darmadi Miswan dan satu orang bachelor yaitu Zamrony.

Kloter yang berangkat di hari pertama terlebih dahulu bermalam di Sharjah, mereka datang di hotel sekitar pukul 22.30. Hotel yang dipilih lumayan dekat dengan lokasi perkemahan Dibba Oman yaitu “hanya” berjarak sekitar kurang lebih 55km. Sedangkan yang berangkat di hari kedua langsung menuju ke tempat lokasi perkemahan Dibba, Oman.

Dibba, Kota Dua Negara dan Dua wilayah Emirate

Kami berangkat di kloter kedua yaitu di hari jum’at pukul 9 pagi, dari Ruwais langsung menuju Oman dengan tiga mobil konvoi beriringan. Jarak antara Ruwais dan Dibba Oman kurang lebih sekitar 400km. Perjalanan relative lancer, kami singgah di beberapa petrol (pom bensin). Dan berhenti di daerah Al Dhaid untuk melaksanakan sholat jum’at. Hal yang mencolok dari petrol-petrol di kota-kota Dubai, Abudhabi dan Sharjah yang sering kami kunjungi dengan daerah-daerah kota kecil yang kami singgahi sepanjang perjalanan ini adalah kebersihan toilet. Di kota-kota besar Dubai, Abudhabi dan sharjah, Toilet-toilet yang terdapat di petrol sangat terjaga kebersihannya sedangkan di kota-kota kecil yang kami singgahi toilet kurang bersih dan tak terawat, di tambah lagi tak ada kloset duduk hanya ada kloset jongkok, mengingatkan saya pada toilet-toilet umum di Indonesia.

Dibba adalah kota yang unik dengan kepemilikan dua Negara dan 3 ruled (pemerintahan) yang terdi dari; Dibba Al-Fujairah yang berada dibawah pemerintahan Fujairah UAE, Dibba Al-Hisn yang berada dibawah pemerintahan Sharjah UAE serta Dibba Al-Bayya yang berada dibawah pemerintahan Musandam Oman. Menurut laman guardian.co.uk, Oman termasuk ke dalam daftar 12 negara yang wajib dikunjungi tahun 2012, dan daerah yang di rekomendasikan selain muscat adalah Musandam Peninsula, Dibba adalah salah satu wilayah Musandam Peninsula. Oman pantas di rekomendasikan karena Negara ini masih dibalut oleh kearifan lokal, kental dengan nuansa tradisi dan budaya setempat. Sangat berbeda dengan Negara tetangganya yaitu UAE yang serba artificial.

Perjalanan kali ini sangat berbeda dengan perjalanan berkemah di Liwa, apabila di Liwa di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan gurun pasir yang indah dan misterius maka di sepanjang perjalanan menuju Dibba kami disuguhi oleh hamparan Rock mountains (gunung-gunung batu). Gunung-gunung batu yang terjal di kanan-kiri jalan berdiri kokoh dan menjulang tinggi. Semakin ke dalam kami seakan di kepung oleh Rock hills (bukit-bukit batu), jarak antara badan jalan dan Rock hills sangat dekat hanya sekitar 5 meter saja.

[caption id="" align="aligncenter" width="564" caption="terkepung rock hills (foto dok. Partondo Catur Nugroho)"][/caption]

Kami tiba di perbatasan UAE dan Oman, check point pemeriksaan imigrasi Alhamdulillah kami lewati dengan lancar. Namun tiba-tiba rombongan kami tertahan, Zam rony yang ikut di kendaraan pak Darmadi di tegur oleh petugas imigrasi karena kedapatan mengambil foto, kami lupa memberi tahu nya bahwa perbatasan antar Negara tidak boleh ambil foto. Maka tanpa ampun lagi petugas imigrasi merampas kamera dan menghapus foto lokasi perbatasan.

Kami tiba di kota Dibba pukul tiga sore, sebelum bergabung dengan teman-teman dari kloter pertama yang telah tiba terlebih dahulu di lokasi perkemahan, kami singgah terlebih dahulu di fish market, membeli ikan untuk makan malam kami nanti. Dibba Al-Bayya memang kota maritim, kota nelayan, ikan-ikan segar yang baru ditangkap terjaja di bibir pantai, perahu-perahu nelayan tertambat, para bangla (Bangladesh) yang bekerja untuk para tuan pemilik kapal lalu lalang sibuk dengan kegiatannya. Hmmmm saya sejenak menghirup udara laut yang fresh, ya udara laut Dibba masih fresh belum terkontaminasi polusi, tak ada cerobong-cerobong asap pabrik-pabrik kimia disini. Maka biota laut pun masih banyak bermacam dijumpai, bahkan burung-burung laut dengan berbagai jenis masih bisa di jumpai. Burung-burung itu terbang berbaris rapi dengan formasinya, kadang mendarat di bibir pantai seakan melihat hiruk pikuk keramaian orang-orang yang sedang bertransaksi membeli ikan.

[caption id="" align="aligncenter" width="346" caption="foto dok. Zam Rony"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="my Chemy (foto dok. Zam Rony)"][/caption]

Kemudian ingatan saya melompat jauh beribu kilometer ke desa tempat asal kelahiran, sebuah desa nelayan yang kini berubah menjadi kota, Pantai Anyer Serang Banten. Apa kabar Pantai Anyer? Apa kabar para Nelayan Anyer? Ahhhhh aku tersenyum ironi.

Full Moon at Dibba

[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="full moon (foto dok. Agus Haryanto)"][/caption]

Kami datang di lokasi perkemahan pukul lima sore, tenda kami sudah terpasang, teman dari kloter pertama keberangkatan yang berbaik hati memasangkan tenda untuk kami. Kami bersiap untuk makan malam, ibu-ibu memasak dan mengolah ikan yang tadi kami beli. Sebelum waktu makan malam datang dan sambil menunggu bahan makanan diolah kami menyantap bakso yang sudah kami persiapkan dari rumah. Bapak-bapak menyiapkan kayu bakar untuk keperluan barbeque dan api unggun. Anak-anak? Mereka tanpa dikomando langsung bermain pasir dan mendekat ke bibir pantai.

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="foto dok. Agus Haryanto"][/caption]

Lokasi tenda kami dekat dengan bibir pantai, hanya berjarak 20 meter saja, kami sengaja menghindari bukit batu karena khawatir bila tiba-tiba kami tertimpa batu yang jatuh dari atas bukit. Kami punya “tetangga” kemah, di sebelah kanan adalah sekelompok bule, di sebelah kiri adalah sekelompok philipina atau Thailand, entahlah. Pantai ramai kala itu, ada yang bermain paralayang, memancing, berenang dan lain-lain.

[caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="pantai yang ramai (foto dok. Partondo Catur Nugroho)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="518" caption="foto dok.Partondo Catur Nugroho"][/caption]

Cuaca memang mendukung saat itu, relative hangat sekitar 25 derajat ketika sore hari dan 20 derajat di malam hari. Apa yang kami khawatirkan tentang dingginnya cuaca sama sekali tak terbukti, Alhamdulillah.

Ketika malam datang kami bersiap di tengah api unggun untuk menyantap makan malam sambil menunggu datangnya bulan. Dan bulan pun perlahan datang, bagai muncul dari tengah lautan, bulat sempurna perlahan naik, kemudian membentuk seberkas sinar vertical lurus berwarna keemasan, seperti sebuah jembatan di permukaan air laut, semua mengucap asma Allah demi melihat pemandangan yang menakjubkan ini, Subhanallah, tak terkira rasa syukur kami berkesempatan melihat salah satu ayat Tuhan di Alam semesta ini.

Pukul 11 malam rasa kantuk datang kami pun satu persatu masuk ke dalam tenda masing-masing, menarik selimut dan terlelap.

Pasar Jum’at

[caption id="" align="alignleft" width="403" caption="foto dok. Zam Rony"][/caption] Shubuh menjelang, para penghuni tenda satu persatu keluar, bagai ulat yang keluar dari kepompong. Semua bergegas ke toilet yang berjarak sangat dekat dengan tenda. Setelah sholat kami bersiap untuk sarapan. Anak-anak pun terbangun di pagi hari, mereka langsung berlari kepantai, tak ada gurat lelah di wajah mereka, hanya keceriaan yang terpancar.

Setelah sarapan selesai kami bersiap-siap packing kembali untuk pulang, besok kami harus kembali beraktivitas, bapak-bapak bekerja dan anak-anak sekolah.

Dalam perjalanan pulang kami mampir ke pasar jum’at, sebuah pasar di Fujairah UAE, pasar ini mengingatkan saya pada deretan kios-kios di puncak pass Bogor Indonesia. Kios-kios pasar jum’at menjajakan aneka buah-buahan yang fresh, mainan anak-anak, handycraft, dan karpet-karpet sutra iran yang indah.

Apa yang Kami Cari?

Seorang teman bertanya kepada saya, “untuk apa bersusah-susah kemping?, seneng banget sih kemping?, well saya juga bingung, terus terang tak bisa mendeskripsikan kesenangan saya secara akurat. Kecuali rasa rindu akan kebersamaan yang terjalin hangat, menyaksikan indahnya alam yang murni, menyaksikan begitu banyak ayat-ayat Tuhan di alam semesta ini. Maka rasa syukur tak terhingga akan senantiasa tertanam didalam hati.

Berkemah juga adalah salah satu hal yang bisa menumbuhkan rasa emphaty dan mengasah rasa peri kemanusiaan yang seringkali terkikis, tergerus oleh dunia artificial yang setiap hari kita hadapi. Bagi saya khususnya adalah menanamkan rasa awareness untuk anak-anak saya yang setiap hari disuguhi oleh kenyamanan dalam hidupnya. Setidaknya kami memberikan pandangan bahwa ada dunia lain selain di rumah yang serba ada dan di beranda rumahmu yang serba nyaman, ya saya ajak anak-anak untuk keluar dari zona nyaman mereka.

“Bunda, Ayah thankyou for camping, kalo libur sekolah kita pergi kemping lagi ya?!” ujar anakku, “inshaallah sayang, inshaallah” jawabku.

Februari, 10-11 2012

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="sunset (fot dok, Agus Haryanto)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="D"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="ibu-ibu mengolah makanan"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="ibu-ibu cantik D"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="lokasi tenda (foto dok. Partondo Catur Nugroho)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="menyantap makan malam (foto dok.Agus Haryanto)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="gelap malam, semua terlelap (foto dok. Agus Haryanto)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="sunrise (fotodok. Agus Haryanto)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline