Lihat ke Halaman Asli

Why Not’s! Mentalitas Pendidikan Kita “Pancasila, UUD 45, GBHN, dan Kebhinekaan”

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penulis berangkat dari kutipan liar di majalah kampus yang menyederhanakan ungkapan seorang profesor 5 zaman, mulai dari zaman penjajah jepang hingga zaman reformasi sekarang ini. Sebut saja, Prof. Alex Tilaar dalam mengarifi kondisi pendidikan bangsa Indonesia ini tidak mengalami kemajuan yang berarti dan terjadi disemua level kelembagaan pendidikan. Banyak sekolah-sekolah yang meluluskan siswa-siswa berakal tapi kurang bermoral. Akibatnya generasi sekarang kehilangan identitas diri dan semangat nasional.

Memang ya, kondisi itu amat terasa pendidikan kita hanya sibuk mencari format bagaimana cara membuat siswa pintar dengan indikotor angka-angka “memuaskan”, “sangat memuaskan” dan bahkan tidak sungkan-sungkan penyebutan “cumalaude”. Apa lagi saat ini tolak ukur UN (Ujian Nasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Bersetandar Internasional) terkadang menjadikan pendidikan bangsa ini dalam ritme kastanisasi, yang kaya akan lulus. Sementara yang miskin “cukup sampai disitu” dan siap kejar paket ABC..

Sungguh ironis, ditengah geliat gelobalisasi dengan penekanan persaingan bangsa kita banyak mengeluh menyalahkan generasi yang kurang cerdas, terbelakang, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Sementara mereka para heker pendidikan (pejabat pemangku kebijakan) seakan tidak mau tau dan peduli. Kepercayaan akan keberhasilan pendidikan hanya ditanjau dari segi data berdasarkan “tanda tangan dan setempel basah”. Meski kenyataannya berbanding terbalik.

Miris terdengar, kepasrahan bangsa kita atas ketinggalan pendidikan yang diakibat oleh politik penjajahan terkadang menjadi alasan kelasik yang justru menjebak dalam ketakutan akan capaian dan tujuan pendidikan tersebut. Sehingga by desain yang ditawarkan mentok dalam pilihan sebatas teransper pengetahuan. Sehingga pendidikan bangsa kita jauh dari harapan bisa menjadi pelaku dalam persaingan gelobal, tapi lebih ikhlas menjadi obyek tunggangan dan percobaan dari persaingan gelobal tersebut.

Perlu Pilihan Tegas

Banyak cerita baik secara literatur maupun sambari cerita anak negeri yang merantau terutama dinegeri-negeri yang budayanya maju, kuat secara kalkulasi perkembangan dan kemajuan Sumber Daya Manusianya. Lantas kenapa tidak minimal meniru negeri-negeri tersebut. Metode yang mengedepankan konsep pendidikan yang mempersiapkan skil dan menjunjung tinggi etika moral. Katakana Negara jepang, Singapura dan Negara lainya. Negara-negara yang memformat pendidikan dengan gaya santun dan mengedepankan skil. Pendidikan bangsa kita terjebak dalam kurikulum pingin serba bisa. Sehingga lulusan yang dihasilkan bisa semuanya, maka wajar Insinyur jadi seles.

Nah, kalau pun bangsa kita tidak mampu mengikuti jejak bangsa lain, mengharap menjadi bangsa sediri dengan pilihan tegas.

Why not’s? pilihan mengembalikan roh pancasila, UUD 45, GBHN dan Kebihinekaan sebagai the for pillars of our system yang kemudian pilar-pilar inilah yang akan membentuk bangsa yang berakal tetapi tetap bermoral. Meminjam bahasanya prof. Alex pilar-pilar itu lah yang akan menciptakan the future of the nation dengan bayangan kelak, bila para generasi muda ini menjadi profesional atau pemimpin mereka bisa tak hanya bekerja dengan akal tetapi dengan hati.

*Komunitas Penulis Kreasi (Kompensi) NTB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline