Lihat ke Halaman Asli

Kemana Basa Sunda dan Punten Juga Hatur Nuhun Itu?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kebudayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang tinggi. Nilai kehidupan, nilai sejarah, nilai budaya itu sendiri juga nilai jual. Disini saya akan menyinggung tentang nilai budaya dan kehidupan dari budaya itu sendiri.

Begitu luhur budaya sunda, yang dimana orang-orangnya dikenal ramah dan baik tutur katanya. Sopan santun yang begitu dijunjung. Dan berbagai hal lain yang dibanggakan.

Sekarang, masihkah kita sebagai warga sunda, nyunda dengan segala budaya yang dibangga-banggakan dulu. Saya mulai menyadari ini sejak sekitar satu tahun kebelakang. Dimana saya merasakan bahasa sunda dan nyunda itu semakin jarang saya temukan, baik di kehidupan bermasyarakat ataupun dalam lingkungan keluarga. Semuanya terasa serba nasional atau global.

Saya sudah jarang mendengar kata punten ketika seseorang atau kelompok melewati seseorang atau kelompok juga. Dulu yang saya rasakan, ketika melewati kerumunan orang, dengan tanpa segan saya akan mengucapkan punten sebagai rasa hormat saya pada yang saya lewati ketika berjalan. Karena mengingat peribahasa sunda yang menyebutkan “da basa mah teu meuli” yang artinya, bahasa itu tidak dibeli, jadi karena gratis ya kenapa tidak kita memakainya untuk menyenangkan atau menghargai orang lain. Begitupula teman-teman dan orang sunda lainnya. Lalu, ketika telah menerima jasa atau benda yang membuat kita bahagia biasanya dengan senang hati kita mengucapkan hatur nuhun, sekedar tanda terimakasih telah memberikan sesuatu itu. Namun hari ini dari kemarin saya jarang sekali menemukan fenomena tersebut. Entahlah kenapa, yang jelas semua itu tidak punah tapi menuju keadaan punah.

Beda halnya ketika saya melancong ke daerah Jogjakarta, disana saya masih mendengar kata permisi atau matur nuhun dengan nyaring dimanapun dan segala usia. Di lingkungan kampus, pasar, pertokoan, dan tempat-tempat khalayak ramai lainnya. Sampai terjadi celetukan orang sunda yang kuliah disana mengatakan “di bandung boro-boro gitu kan ju” kata teman saya ketika ada seorang mahasiswa lewat di depan kami dan mengatakan “misi mbak” sembari tersenyum. Saya cuma bisa nyengir mendengarnya, karena memang benar, Bandung tempat saya kuliah kental dengan sunda, tapi budaya seperti itu sepertinya sudah tidak nge-trend lagi.

Saya menyayangkan fenomena ini, dimana masyarakat sunda yang seperti saya katakan tadi yang terkenal akan keramahan dan budaya bahasa yang luhur malah terkikis globalisasi dan egoism masing-masing individu. Saya paparkan sedikit mengenai pemakain bahasa di bandung. Saya tidak memungkiri Bandung adalah kota yang sarat dengan budaya, dan sunda sebagai budayanya. Tetapi yang saya lihat hanya sekitar kesenian alat-alat musik tradisional dan juga tarian-tarian daerah sunda saja yang dijaga dan malah dikembangkan. Bukan saya menyepelkan dua hal yang saya sebutkan tadi, namun bahasa dan budaya tingkah laku pun tidak kalah penting. Itupun menandakan identitas kita sebagai masyarakat sunda. Di lingkungan kampus saya yang 60% orang sunda, hampir 70% memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa kesehariannya dengan alasan bayak orang luar sunda yang kuliah di universitas kami, walupun logat sunda itu agak sulit mereka lupakan. Tetapi walaupun mereka ketika bergaul dan berbincang dengan orang sunda, tetap yang digunakan bahasa Indonesia, dengan alasan mudah difahami. Jadi secara tidak langsung mereka mengatakan kalau bahasa sunda, bahasa ibu mereka sulit, dibanding bahasa nasional kita yaitu bahasa Indonesia. Sedikit sekali manusia yang mau menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa percakapannya. Bahkan, saya sering dihadapkan pada fenomena yang menyakitkan, ketika dengan ikhlasnya saya mengucapkan punten dan hatur nuhun dalam sebuah peristiwa interaksi masyarakat, namun tidak digubris. Saya tidak marah, namun sangat menyayangkan, mereka tidak menjawab pernyataan saya tersebut. Disini saya bisa mengatakan bahwa budaya punten dan hatur nuhun ini tergeser dengan ketidakpedulian warga sunda terhadap budayaya sendiri. Saya kadang tidak sedang merasa di Bandung.

Ini merupakan bahan yang saya rasa cukup penting untuk dikaji. Bagaimana tidak, jika tetap dibiarkan bisa-bisa budaya yang saya sebutkan tadi terancam punah. Dan ketika kehidupan mendatang anak cucu kita tidak mengenal identitasnya sendiri.

Saya tidak mengusung sukuisme, tetapi alangkah baiknya jika kita menghargai budaya daerah sendiri.

Saya ingin mengajak pembaca untuk terus menjaga kelestarian budaya kebiasaan ini. selain menyangkut sopan santun orang sunda tetapi ini juga menyangkut nasib identitas orang sunda itu sendiri. Dimulai dari diri saya sendiri, saya memulai mengkampanyekan budaya punten dan hatur nuhun ini. Bahasa tidak dibeli kawan, dengan hanya mengucakakan punten sebagai tanda menghormati oranglain yang kita lewati, atau mengucapkan hatur nuhun ketika diberi sesuatu oleh oranglain yang membahagiakan hati. Tidak sulit jika kita membiasakannya. Semua bisa karena biasa bukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline