Generasi Z, yang lahir di era digital dan tumbuh dengan kesadaran akan isu lingkungan, berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim.
Mereka menyaksikan langsung dampak perubahan iklim yang semakin nyata, dari kenaikan permukaan air laut hingga peristiwa cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi.
Namun, di tengah semangat perubahan, muncul pertanyaan: Apakah Gen Z benar-benar menjadi agen perubahan yang signifikan dalam mengatasi krisis iklim, atau mereka hanya menjadi penonton pasif?
Generasi Z sebagai Agen Perubahan
Generasi Z, dengan kecakapan digitalnya yang mumpuni, telah merombak lanskap aktivisme. Platform media sosial menjadi panggung bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi, mengorganisir aksi, dan membangun komunitas global.
Hashtag-hashtag seperti #FridaysForFuture dan #ClimateStrike telah menjadi simbol perlawanan generasi muda terhadap perubahan iklim. Namun, di balik layar, terdapat tantangan tersendiri.
Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna seringkali memperkuat filter bubble, di mana individu hanya terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini dapat menghambat dialog konstruktif dan memperkuat polarisasi.
Selain itu, generasi Z juga menghadapi tekanan untuk mencapai kesuksesan materi dan sosial. Konsep "hustle culture" yang mendewakan kerja keras tanpa henti dapat mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan individu.
Di tengah tuntutan untuk terus produktif, generasi muda perlu menemukan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan karier.
Peran pendidikan dalam membentuk agen perubahan tidak dapat diabaikan. Kurikulum sekolah perlu disesuaikan dengan tantangan zaman, dengan memasukkan materi tentang keberlanjutan, kewarganegaraan global, dan keterampilan berpikir kritis.
Pendidikan yang holistik akan membekali generasi muda dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.