Lihat ke Halaman Asli

Jumari (Djoem)

Obah mamah

Bukan Mimpi

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ngelmu iku kelakone kanthi laku
lekase lawan kas,
tegese kas nyantosani,
setya budya pangekesing durangkara
(Tembang Pocung)

Tak terbayang nantinya setelah BBM naik. Itulah yang mengusik otakku saat ini. Detik inipun aku masih ngutang untuk makan, apalagi nanti. Dan tak terbayang pula berapa banyak orang yang masih hidup di bawahku, meskipun hidupku masih kekurangan, tapi ada yang lebih kekurangan lagi. Kemana mereka mengadu dan berpacu melawan penindasan kepentingan perut para penguasa? Tak terbayangkan dan hanya bisa bersedih hati. Kesedihanku ini membuatku ingin diam dan diam, serta menguatkan hati untuk berdoa. Semoga tetap seperti hari-hari saat BBM belum naik.

Berapa kali BBM dinaikkan? Dan kengerian juga terbayang oleh banyak orangpun akhirnya berjalan biasa, meskipun banyak yang tak terdeteksi mati juga akibat kurang makan dan banyak pula yang bunuh diri karena tak mampu menahan derita hidup. Itulah rakyat negeriku tercinta ini. Sekarang hal itu terulang lagi untuk yang kesekian kalinya, dan saya merasa ngeri membayangkannya.

Sekedar punya mimpi dan saya berharap tidak sekedar mimpi. Kembali ke kehidupan di pedesaan, yang selalu mengutamakan nilai kebersamaan dan gotong royong. Akibatnya tetangga yang ga mampu merayakan hajat pernikahan anaknyapun akhirnya bisa lebih meriah. Saya merasa nilai positiff di balik kenaikan BBM ini salah satunya adalah memupuk kembali solidaritas dan nilai kebersamaan yang sudah pudar. Darimana memulai? Banyak yang berfikir kesulitan untuk memulai. Sebenarnya tidaklah sulit, selama ada niat ada jalan (Katanya). Seperti tembang macapat diatas yang mengajarkan kepada kita untuk berusaha, dan berusaha, saya rasa itulah kuncinya, berusaha dari diri kita sendiri, kemudian keluarga, keluarga besar, keluarga satu RT, keluarga RW dan seterusnya.

Ketika rakyat sudah sepaham dan erat dalam menjalan persahabatan dan menjalin hubungan kekeluargaan saya rasa tidak ada yang merasa kekurangan, tidak ada yang sambat keluwen, dan tidak ada yang kelaparan lagi. Disini memang ego kita diuji sedemikian rupa dan dilatih untuk berbuat iklas. Iklas dalam artian yang sebenarnya, bukan iklas di ungkapan. Iklas selayaknya orang buang air besar di WC, membuang tanpa memiliki rasa kehilangan, membuang membuat sehat, membuang menambah nyaman diperut. Mampukah kita untuk saling menghargai, saling menghormati, saling membantu, saling berinteraksi yang bijaksana dan saling bersama dalam setiap situasi dan kondisi? Hanya diri kita sendiri yang tahu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline