[caption id="attachment_123215" align="alignleft" width="409" caption="Siteran in Action (Sumber: http://www.antarafoto.com)"][/caption]
Bermain, bersuka cita, bersenandung, berjingkat, salto sampai nangis deh biasanya yang pernah saya alami di masa kecil. Di bawah cahaya bulan purnama bermain jelungan, di siang hari bermain dengan rumput, kerbau dan sapi. Di sore hari bermain dengan kawan di sendang bertelanjang ria, begitu juga di pagi harinya. Masa kecilku tak lepas dari permainan yang mewajibkan tetap bersama-sama. Berbagi, olok-olokan sampai bertengkarpun, besoknya bersama lagi. Perbedaan tak jadi masalah, yang penting kitanya bermain, bertengkar dan berdamai lagi. Begitu seterusnya, sampai aku masuk di bangku SD.
Rupanya kehidupan ini tidak bisa lepas dari kebersamaan, berbagi dan saling menaruh perhatian. Ini di lingkungan saya, sampai-sampai bermain musikpun juga membutuhkan kebersamaan, perhatian terhadap yang lain dan rasanya di samakan. Itulah bermain gamelan bersama. Jika salah seorang membunyikan instrumen lebih keras sedikit maka akan terasa ga nyaman. Jika seorang memukul notasi yang berbeda maka jadinya tak selaras, dan jika seorang berjalan dengan ritme yang berbeda juga terasa tak enak di dengar. Ada apakah dengan kebersamaan? Hingga dalam segala tradisi dan adatpun harus dilakukan dengan cara bersama-sama juga. Dengan semangat gotong-royong, dengan sukacita bersama. Tidak ada perbedaan, yang kaya juga harus terjun membantu membersihkan got bersama, mendirikan rumah bersama, kenduri bersama, kondangan bersama dan sholat di masjid bersama, serta masih banyak hal kebersamaan lagi.
[caption id="attachment_123216" align="alignleft" width="280" caption="Satu Set Gamelan Slendro"]
[/caption]
Adakah semangat yang melebihi kebersamaan? Katakan padaku bagaimana caranya. Baru sekarang aku sadar kenapa instrumen gamelan dibuat sebegitu banyak. Ternyata demi kebersamaan juga. Kenapa orang nabuh gamelan harus duduk? Tidak berjingkat seperti orang bermain musik pada umumnya? Mana ekspresinya? Konsep meditasilah penyebabnya. Bermain gamelan di butuhkan konsentrasi kebersamaan. Telinga dipasang erat pada tiap pola dan style ritme maupun nada yang dimainkan oleh teman yang lain. Sehingga tidak bisa berjingkat atau dengan penuh ekspresi. Penonjolan pada karakter tertentu hanya akan menghilangkan rasa keharmonisan nada-nada yang dicoba adu dombakan dalam sebuah permainan rasa. Itulah sebabnya kenapa seorang musisi gamelan di sebut yogo. Berasal dari yoga, yang artinya meditasi, dan karena ini pula maka sikap musisi gamelan selalu anteng (tenang) dan sembari duduk.
Berarti ga berekspresi donk?
Siapa bilang? Ekspresi tidak harus lewat gerakan ataupun stand up atau gaya seperti Bung Roma Irama bermain guitar elektrik. Ekspresi musisi gamelan terletak dalam sanubari. Seberapa keras, dan seberapa lembut harus memukul instrumen itulah salah satu letak ekspresinya. Terlalu keras akan menimbulkan unharmonis rasa keras lirih. Bukan masalah volume, tetapi masalah kepekaan. Jaman dahulu tidak menggunakan sound system, tetapi semua bisa mendengar dan terdengar. Ah itu sih masalah iklik jaman yang masih sepi. Siapa bilang? Itu masalah kepekaan. Di Solo ada sebuah group karawitan khusus untuk acara meditasi namanya "muryoraras" mereka tiap prakteknya tidak menggunakan sound system, tetapi cukup dalam ketenangan dan suara selembut rebabpun (semacam alat gesek tradisi) terdengar.
[caption id="attachment_123219" align="aligncenter" width="391" caption="Musisi dan Rebab (Koleksi Pribadi)"]
[/caption]
Ah itu namanya ga fangky brow, kurang kuat daya tariknya, kurang ngehhhhhh gitu. Saya jawab, hahag...khas ketawa saya. Ada pepatah mengatakan, air beriak tanda tak dalam. Cukup diam, tetapi di dalam sana menghanyutkan. Coba dengerin musik gamelan, bagi yang kurang peka pasti tertidur lelap. Ini berarti mengandung sebuah mukjizat nada yang mampu meneror syarat orang untuk lemas dan cepet tidur. Tapi bagi yang mampu merasakan, seperti mendapatkan ketenangan jiwa. Ada teman saya dari Ceko, namanya Lucia, baru setahun tinggal di Indonesia. Awal datang langsung saya ajak ke desa tempat saya mengajar gamelan, dan buktinya, dia tersenyum dan bilang "amazing, ini musik syurga".
Ah itu kan karena mereka sudah bosan mendengar yang breng-brengan. Ada betulnya pernyataan ini, tetapi kenyataan dia minta dimainkan lagi, dan sekarang terpaksa saya harus meluangkan waktu mengajarinya bermain rebab. Cape deh, itu instrumen yang sulit, karena ga ada crepnya, seperti violin, nadanya harus berlatih tiap hari agar ketemu tepat dan terasa enak.
Gamelan Kuna, beraninya berjamaah