Kau terus menolaknya.
Kau terus mengabaikannya.
Bahkan lebih seru lagi inginya kau mengancurkanya hingga hilang tanpa bekas.
Kau melihat Dengan kaca mata bencimu.
Dengan pandangan sakitmu.
Hingga kau merasa hanya dirimulah yang pantas.
Dia diam,
mulutnya seakan terkunci, bukan karena mengunci,
tapi logikannya menguasai perasaannya.
Pahit karena penolakanmu.
Pedih karena abaimu dan sakit karena seranganmu.