Lihat ke Halaman Asli

Sandal Jepit Tuk Mak

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adal nama anak malang itu. Gelisah. Dia berdiri dengan pose kaku seperti patung duka cita. Lingkaran hitam mengatung di bawah kelopak mata. Keringat meleleh bak mentega mencair. Roman wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuhnya kecil. Kurus. Kulit hitam mengkilap. Rambut keriting. Dia tuna wicara. Pagi itu, selembar layar raksasa terpampang di muka Gedung Pengadilan. Beberapa orang wartawan mondar-mandir meliput persidangan Adal. Kilatan kamera leluasa menyambar mukanya. Memantul cahaya dari bola mata.

Laki-laki, perempuan, tua-muda, ibu-ibu mengendong anak, berdesak-desakan di ruang pengadilan. Sebentar kemudian, penuntut umum menyodorkan barang bukti dan menyampaikan dakwaan untuk Adal  kepada Hakim. Adal tak bisa berkata sepatah katapun untuk membela diri. Hanya terdiam. Tiba-tiba dia menengok ke belakang menatap tajam ke arah Limah.

Limah adalah orang tua Adal. Dia pemulung. Berusaha tegar menatap buah hatinya berdiri polos di hadapan Para Hakim.

Dia tidak memakai kain berbahan sutra, melainkan gaun pendek lusuh dengan kancing tak tertutup semua yang dipungut dari tong sampah. Baju kumuhnya sangat kontras dengan orang-orang yang ingin melihat persidangan  Adal. Anak malang itu didakwa telah mencuri sepasang sandal jepit. Dia terancam mendapat kurungan penjara selama lima tahun.

Limah menghela nafas panjang mendengar putusan Pengadilan. Adal telah terbukti bersalah. Seketika tangis Limah pecah. Dia mengiba keadilan untuk buah hatinya itu.

“Dimana keadilan untuk anakku?” teriak Limah dengan suara serak. “Anakku tak ada niat sekalipun mencuri sandal kumal itu,” ujarnya lagi. Batinnya tak kuasa melihat tubuh mungil buah hatinya dibungkam jeruji besi. Dia masih terlalu kecil menerima hukum seberat itu. Umur Adal baru beranjak 12 tahun.

*****

Suami Limah telah tiada ketika Adal masih dalam kandungan. Setahun kemudian kesedihannya makin menjadi-jadi ketika desa mereka diterjang gelombang raya. Semua jasad keluarga Limah tak pernah ditemukan. Air gelombang telah menggulung dan menghanyutkan mereka entah ke mana.

Rumah peninggalan mendiang suaminya kini telah tenggelam dalam hamparan samudera. Satu-satunya harta yang tersisa hanya sehelai kain yang melekat di tubuh Limah dan Adal.  Limah  kemudian  jadi pemulung.

Adal pun putus sekolah. Dia cuma belajar baca tulis sampai kelas lima sekolah dasar.

Sekarang mereka hanya mampu membangun sebuah gubuk di atas lahan milik pemerintahan kota. Lapak  gubuk tidak  jauh dari tempat pembuangan akhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline