Makna tidak memiliki kekayaan apa-apa dalam bahasan dan perenungannya tanpa adanya bantuan pemikiran yang bersumber dari teori-teori dan penemuan penemuan ilmiah. Maksudnya pemikiran disini adalah pemikiran filsafat secara khusus. Model pemikiran tersebut sedikit berbeda dengan pemikiran keilmuan, karena ia merupakan hasil perenungan dalam hakikat ilmu dan dalam pemikiran itu sendiri, yang senantiasa mendapatkan pengaruh dan memperbaharui diri dengan pendalaman terhadap khazanah keilmuan yang membentuk suatu persoalan pokok dalam kerja filsafat.
Maka tidaklah mengherankan jika dalam analisis semiotika bahasa, ia dianggap sebagai salah satu analisa ilmiah terpenting yang ditemukan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan abad ini. Ia juga meletakkan pengaruhnya yang kuat dalam khazanah pemikiran umum. Penemuan ini terwujud bersamaan dengan lahirnya ilmu bahasa di tangan Linguis terkenal bernama Ferdinand de Saussure. Sedangkan peletak dasar ilmu Semiotika adalah seorang Filsuf Besar Amerika Carl Pierce, seperti yang telah dikenal bersama dan ditulis secara terperinci oleh 'Adil Fakhuri dalam bukunya yang berjudul Tayyarat fi al Simiyya'.
Kata Simiyya' memiliki bentuk yang sama dengan Kimiyya', seperti yang telah diketahui oleh sebagian orang, yaitu ilmu tentang tanda dan petunjuk, yang disebut juga Semiotika atau Semiologi dalam bahasa Eropa. Saya lebih banyak menyebut kata Simiyya' untuk Semiologi, karena kata tersebut dalam bahasa Arab bermakna tanda, seperti yang disebutkan dalam Kamus Lisan al-'Arab. Jadi, ada kedekatan lafadz antara kedua kata tersebut. Kata Simiyya', Simah dan Sima bermakna sama, karena berasal dari satu akar kata, yaitu Sawm. Sedangkan Semiologi berasal dari Bahasa Yunani (Sema), yang berarti tanda. Ada persamaan bunyi dan makna antara kedua kata di atas, sehingga kita dapat menganggapnya bersumber dari satu akar kara. Hal tersebut banyak terjadi, seperti kata Lughah dalam bahasa Arab dan Logos dalam bahasa Yunani. Maka bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila dari mulut yang berbeda kadangkala lahir kemiripan dalam sebagian kosakata bahasa, sintaksis secara umum dan kaidah linguistiknya secara universal.
Analisis Semiotika mencerminkan pengulangan pembacaan dalam memahami suatu tanda ke arah perubahan pola hubungan antara penanda dan petanda, atau pengaturan ulang pola hubungan antara kaca, benda dan makna. Pemahaman luas dan umum selama ini bahwa tanda itu berkaitan dengan eksistensi inderawi-eksternal dan lebih condong ke arah tersebut secara langsung. Makna makna pun mendasarkan diri pada gambaran tanda dengan struktur khusus tersebut, bahkan secara tertulis berdasarkan suatu kesesuaian antara penanda dan petanda yang kemudian melahirkan suatu makna. Padahal ilmu bahasa modern bekerja di seputar pemahaman ini, dengan suatu pernyataan: "Tanda itu terbagi ke dalam dua bagian: penanda, yaitu rumus, gambaran bunyi, tulisan, dan yang kedua adalah petanda, yang terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu Unsur Eksternal (Obyek) dan Pemahaman (Deskripsi Akal Budi). Dengan kata lain, ada tiga unsur yang membentuk struktur kerja semantis (maknawi), yaitu rumus atau kata yang mencerminkan suatu benda, pemahaman atau sesuatu yang menjadi interpretasi benda tersebut dan unsur eksternal (objek dari rumusan atau benda tersebut). Sebuah makna berdasarkan gambaran ini, tidak lahir hanya dengan salah satu unsur-unsur tersebut, melainkan perpaduan dari ketiga unsur tersebut yang menyempurnakan penyandaran suatu benda kepada objeknya dengan bantuan unsur ketiga, yakni pemahaman. Maksudnya adalah interpretasi objek dan menerjemahkannya dalam deskripsi akal budi, yang kadangkala disebut makna.
Dari sini, diketahui bahwa tanda itu tidaklah berkaitan dengan unsur eksternal secara langsung, akan tetapi lebih cenderung ke arah penanda yang lain, yaitu pemahaman atau deskripsi akal budi. Demikianlah posisi deskripsi akal budi di antara tanda dan rujukannya yang merupakan satu bentuk independen yang memiliki hakikat dan bagian eksistensialnya. Contohnya adalah ketika kita mendengar dan membaca kata Insan. Kita tidak akan membayangkan sesuatu yang ada di luar batin, dalam bahasa kita dan kepada sesuatu yang kita sebut insan secara langsung. Tapi yang kita bayangkan adalah deskripsi dan makna sepanjang yang kita pahami dan merupakan ungkapan interpretasi kira terhadap kata tersebut.
Paparan diatas merupakan gambaran terbaru tentang tanda yang berasal dari pemikiran Barat. Akan tetapi hal itu tidak terjadi dalam pemikiran Arab Klasik yang tampak pengaruhnya saat ini dalam berbagai aspek dan bidang studi Linguistik. Seorang ahli Linguistik Arab, Yahya ibn Hamzah, ketika berbicara tentang hubungan antara bahasa dengan benda, menerangkan dengan jelas bahwa kata-kata itu pada hakikatnya menunjukkan makna-makna akal budi tanpa terkait dengan eksistensi eksternal. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh Adil Fikhuri dalam karyanya yang telah disebutkan. Studi Studi Logika tersedia dari sumbernya seperti pembacaan tentang hubungan antara tanda dan rujukannya, atau antara penanda dan petandanya. Studi logika membedakan suatu benda berdasarkan empat tingkatan atau empat bentuk, yaitu eksistensi kebendaan (fisik), eksistensi akal budi (non fisik), eksistensi verbal (lisan) dan eksistensi tulisan.
Pernyataan bahwa suatu benda itu memiliki eksistensi non fisik (akal budi) berarti bahwa deskripsi akal budi membentuk ukuran optimisme dan posisinya dalam wilayah makna. Untuk itu, meringkas deskripsi tersebut tidaklah mungkin berdasarkan rujukan yang dipergunakannya dan berdasarkan tanda, baik dalam ungkapan bunyi maupun tulisan.
Karena alasan-alasan diatas, deskripsi akal budi tidak mungkin juga untuk menjauh dari ketiga bentuk lainnya. Suatu benda, pemahaman, ungkapan dan tulisan merupakan ukuran-ukuran temporal-fleksibel-struktural yang tidak harus saling menyesuaikan satu sama lain, akan tetapi tersusun satu sama lain dalam hubungan interpretatif, saling berinteraksi, berdialog, saling memberi referensi dan saling menggantikan posisi masing-masing. Kenyataannya adalah bahwa deskripsi akal budi yang merupakan terjemah dari pemahaman terhadap suatu rujukan, pada saat yang sama telah membentuk suatu tanda lain, menciptakan penanda yang menunjukkan eksistensi petanda lain, serta membuat suatu rumusan yang memberikan referensi bagi lahirnya sebuah deskripsi yang tidak henti-hentinya muncul di dalam akal budi, sehingga kemudian menjadikan ungkapan yang ada tidak mampu untuk membongkar hakikat objek. Maka kemudian apakah yang terjadi, jika sebuah persoalan tidak berkaitan dengan objek yang menunjukkan kepada sebuah benda, tapi berkaitan dengan ungkapan otentik tentang aspek-aspek batini-internal dan sama sekali tidak berkaitan dengan aspek eksternal, seperti universalitas, partikularitas, pemahaman, makna dan ungkapan lain yang menunjukkan bahwa objek-objek tersebut merupakan sarana pemahaman yang memproduksi makna, sehingga di dalamnya, banyak kata yang mengacaukan pemikiran di balik selubung makna dan serangkaian pemahaman.
Apapun obyek dan referensi yang dipergunakan, suatu tanda saat ini dipahami sebagai sebuah wilayah makna yang sempit, atau kandungan makna yang tidak henti-hentinya memancarkan makna yang berbeda dengan dirinya sendiri. Hal itu adalah suatu kemampuan semiotik, karena ia memiliki kemungkinan membutuhkan serangkaian tanda-tanda lain yang membuat beragam makna berpola dan tidak berhenti pada beberapa pertanda.
Dengan itu, setiap pernyataan melahirkan sebuah kemungkinan untuk interpretasi yang mengalihkan kita dari satu informasi makna kepada informasi makna yang lain selamanya, dari strata metaforis menjadi strata pluralis, dari satu cakrawala ilmiah menjadi cakrawala ilmiah yang lain, sehingga suatu teks dapat dijadikan sebagai permainan bebas yang terbuka terhadap beragam pembacaan, dengan kemampuan setiap penanda untuk menghasilkan penanda yang lain, atau kemampuan setiap petanda untuk melahirkan sebuah analogi baru sebagai akibat dari adanya penanda lain yang bersifat maya.
Proses ini adalah proses peralihan antara beberapa penanda dan perubahan antara beberapa pertanda karena adanya sebab-sebab maya---menurut Jacques Derrida disebut al-ta'wim. Hal itu diterangkan oleh Abdullah Ibrahim dalam makalahnya tentang metode Pemisahan (Pelepasan) ala Derrida, yang terangkum dalam sebuah buku Yang berjudul Ma'rifah al-Akbar.