Lihat ke Halaman Asli

Surga yang Tak Dirindukan

Diperbarui: 11 Agustus 2015   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Karena terprovokasi oleh kedua istri, saya akhirnya memutuskan untuk menonton film Surga Yang Tak Dirindukan, sebuah film drama rumah tangga yang mengangkat isu poligami.  Poligami lagi, poligami lagi. "Ah, sepertinya poligami ini tak habis-habisnya  menjadi bidikan para sineas kita'" pikir saya.

 Film ini diangkat dari novel karya penulis yang telah lama saya kenal, Asma Nadia. Ini yang membuat saya penasaran. Setahu saya, Asma Nadia bukan pelaku poligami. Dia memang penulis muslimah muda berbakat yang banyak mengangkat masalah-masalah perempuan. Saya mengenalnya sebagai corong kaum perempuan, corong para istri yang menyuarakan kekecewaan mereka pada suami yang jahat, kasar, pelit, dan tidak setia. Ia juga corong bagi para istri yang merasa korban poligami. Saya pernah membaca beberapa tulisannya tentang itu.

Setahu saya, Asma Nadia bukan pendukung poligami, apalagi pelakunya, walaupun ia bukan pula penentangnya yang keras. Karena novelnya sendiri, dengan judul yang sama dengan film, belum saya baca, saya belum tahu apa pesan yang ingin disampaikan Mbak Asma tentang poligami. Samakah pesan di novel dan di film ini?

Penasaran ...

Apakah melalui  film ini  Asma Nadia akan menyampaikan bahwa ia kini sudah siap bermadu? He he he. Atau, apakah ia hanya sekedar menyatakan rasa simpati kepada orang yang berpoligami tanpa ingin mengalaminya sendiri? Atau, apakah ia justru sebaliknya ingin menyampaikan rasa antipati dan mengajak masyarakat memerangi poligami?

Okelah. Saya penasaran. Saya  ingin tahu apa yang ingin diceritakannya.

Selama dua jam lebih beberapa menit,  pada Minggu malam, 26/7/2015, tanpa pop-corn di tangan, sambil menahan flu dan batuk, saya terpaku di kursi Cinema XXI Citra Grand Cibubur, didampingi istri, menyimak adegan demi adegan film di bawah arahan sutradara kondang sajian MD Production ini.

Terus terang, sajiannya memang bagus. Tata gambar dan tata suara bagus. Menurut saya, Ini sebuah karya film yang bermutu. Walaupun ceritanya mempunyai banyak sub-plot (mungkin untuk menambah komplikasi) dan flash-back berulang-ulang, tapi jalan cerita utamanya secara keseluruhan cukup sederhana, kohesif, dan mudah diikuti tanpa harus banyak mikir. Emosi sedih dengan dialog-dialog yang mengejutkan dan mengundang air mata mendominasi. Nuansa ini sepertinya memang sengaja dibuat dominan agar penonton terlarut dan tegang. Rasa haru dan tegang pun menyelimuti saya.

Tapi, setelah film berakhir, saya jadi berpikir tentang contentnya. Apakah keputusan poligami dalam dunia nyata sesederhana yang diceritakan dalam film ini?

Oh, kok rasanya tidak ya. Di film ini banyak hal yang terasa janggal. Poligami sepertinya digampang-gampangkan saja. Tidak tampak tikungan-tikungan terjalnya. Tidak tampak gregetnya. Sepertinya kita menonton kehidupan hitam putih tanpa abu-abu. Yang lebih mengejutkan saya, poligami dimulai secara gampangan dan diakhiri pula secara gampangan. Saya sadar kalau ceritanya pasti fiktif belaka, hasil renungan, bukan kejadian sebenarnya. Tapi, kalau dibuat  terlalu fiktif, film ini terkesan jauh dari realitas.

Diceritakan, Pras (dimainkan Fedi Nuril yang ganteng) adalah seorang arsitek, pekerja keras, namun berjiwa sosial. Ia mempunyai masa kanak-kanak yang suram karena terlahir dari seorang ibu yang kecewa dengan suami kemudian memilih bunuh diri. Pras terpaksa dibesarkan di panti asuhan (?). Latar yang kelam itu membentuk karakter Pras yang solider dengan orang yang senasib.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline