Lihat ke Halaman Asli

Mbah Bolang

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari mulai meredup saat aku dan Dicto,anak bungsuku meninggalkan candi yang lokasinya tak jauh dari rumah kami.Aku dan Dicto yang baru duduk di kelas 2 SMP sama-sama menggemari fotografi dan kami habiskan waktu dengan hunting fotodi candi yang terkenal eksotis itu.Dalam perjalanan menuju rumah yang kami tempuh dengan berjalan kaki itu tiba-tiba Dicto bertanya padaku.

“Ibu,kenapa ia mengikutiku?”

“Siapa,Dict?” Aku menoleh ke segala penjuru dan tak kulihat siapapun.

“Dia,Bu,ada di belakang kita,”

Akupun menoleh ke belakang.Angin berdesir dan menyentuh tengkukku namun lagi-lagi tak kutemukan siapapun.Bulu kudukku berdiri.

“Ma..mana Dict?”

“Ah,sudahlah,Bu,” Dicto memberi isyarat tak ingin melanjutkan percakapan.Dalam perjalanan pulang kami hanya berdiam diri.Sesampai di rumah kami bergegas masuk ke dalam dan kemudian melakukan aktivitas masing-masing.

Diliputi rasa penasaran yang tak kunjung hilang akhirnya aku menemui Dicto yang telah terlihat santai di kamarnya seusai makan malam.

“Dic,sebenarnya apa yang terjadi saat perjalanan pulang dari candi tadi?”

“Oh..itu Bu,”

“Siapa yang mengikuti kita?”

“Macan putih itu Bu.Seekor macan putih mengikuti kita sampai di rumah,”

Bulu kudukku kembali berdiri.Suaraku mulai bergetar.

“Be…benar katamu Dict?Kamu tidak sedang berhalusinasi,kan?”

“Tentu tidak Bu,makanya tadi aku bertanya kepada Ibu,”

“Lalu…sekarang di mana macan putih itu?” Lirih aku bertanya seolah tak ingin terdengar siapapun.

“Tenang Bu,ia takkan mengganggu.Tadi ia berkata ingin menjagaku.Sekarangia berada di atas genteng,Bu,”Ujar Dicto enteng sambil terus membaca buku yang sedang dipegangnya.

“Oya Bu,aku telah menamainya dengan Mbah Bolang dan aku biarkan ia berada di luar rumah saja ya,biar tidak merepotkan.Toh jika dekat-dekat akan lebih sering menggangguku beraktivitas terutama saat aku harus berdoa dan berkomunikasi dengan Gusti Allah,”

Aku hanya bisa tercengang. Kuterdiam dengan kata-kata yang hanya berlarian ke sana kemari dalam kepalaku.Kemudian membeku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline