Seiring dengan perkembangan zaman, isu lingkungan menjadi sebuah topik yang menjadi perhatian banyak pihak. Dalam Fischer dan Hajer (1999) dikatakan bahwa era persuasi dan pembelajaran semakin dekat pada kenyataan dimana dunia pada akhirnya mengharga bahwa ketika berbicara tentang lingkungan, 'kita semua berada dalam perahu yang sama'. Melalui kalimat ini kita dapat melihat sedikit pada realitas yang terjadi di sekitar kita. Environmentalisme menjadi ideologi dominan di seluruh lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan atau pemikiran yang sama tentang perlunya menghargai lingkungan, namun tidak demikian pada praktiknya. Pada kenyataannya, meskipun memiliki pandangan yang sama, 'cara' atau 'praktik' terhadap lingkungan yang dilakukan berbeda-beda, sama halnya dengan yang terjadi pada perusahaan.
Ideologi dominan muncul sebagai hasil dari penyerapan wacana umum. Dalam kasus ini, secara khusus kita akan membahas tentang pertumbuhan environmentalisme dan filsafat lingkungan yang mendasari wacana environmentalisme. Pertumbuhan environmentalisme dari waktu ke waktu digambarkan oleh Elkington dan Eder masing-masing dalam tiga tahap. Elkington (1997, 2004) menggambarkannya dengan istilah gelombang. Gelombang pertama yang mencapai puncaknya pada tahun 1970 bertepatan dengan Hari Bumi. Pada gelombang pertama ini, muncul pemahaman bahwa dampak dari lingkungan harus dibatasi. Hal ini menyebabkan munculnya kebijakan-kebijakan tentang lingkungan dan respon defensif dari para pebisnis. Gelombang kedua mencapai puncaknya pada tahun 1990 bersamaan dengan Hari Bumi pula. Pada gelombang ini, muncul pemikiran dan kesadaran bahwa dibutuhkan adanya inovasi dalam proses produksi dan penggunaan teknologi. Hal ini bertujuan untuk menggerakkan bisnis agar unggul dan mampu berkompetisi. Sedangkan gelombang ketika terjadi pada tahun 1999. Pada tahun ini muncul pengakuan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan besar dalam tata pengelolaan perusahaan dan peran pemerintah serta masyarakat sipil. Pembangunan berkelanjutan hanya bisa dihasilkan apabila ada integrasi antara faktor-faktor tersebut.
Berbeda dengan Elkington, Eder (1996) menggambarkan pertumbuhan environmentalisme dalam fase atau tahap. Tahap pertama digambarkan sebagai fase dimana ada ketidakharmonisan atau ketidaksesuaian antara lingkungan dengan kegiatan ekonomi. Fase ini ditandai dengan munculnya berbagai macam permasalahan lingkungan. Tahap kedua terjadi ketika aksi-aksi lingkungan dan wacana lingkungan didominasi dan dibatasi oleh kebijakan hukum. Kemudian pada tahap ketiga, dominasi beralih dari hukum ke pendekatan kultural dan politik.
Selain pertumbuhan environmentalisme, filsafat lingkungan juga turut membentuk wacana environmentalisme. Filsafat lingkungan mengadopsi dua pendekatan dasar yakni ekosentris (berpusat pada lingkungan) dan antroposentris (berpusat pada manusia). Dalam konteks komunikasi perusahaan terkait dengan filsafat lingkungan, ada tujuh tingkat klasifikasi pandangan tentang bagaimana hubungan antara organisasi dengan masyarakat antara lain sebagai berikut.
- Kapitalis murni: Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah terhadap pemegang sahamnya. Dengan kata lain, perusahaan harus mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (profit-oriented).
- Expedients: Pandangan ini menyadari dan menerima bahwa tanggung jawab sosial dapat berpengaruh pada terwujudnya kesejahteraan dan stabilitas ekonomi, misalnya melalui CSR.
- Pendukung kontrak sosial: Pandangan ini menyadari bahwa perusahaan merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat ada sebelum perusahaan. Maka dari itu, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk bersikap responsif dan menghargai serta menghormati masyarakat.
- Ekologi sosial: Pandangan ini berfokus pada kepedulian terhadap lingkungan sosial. Ada kesadaran bahwa keberadaan perusahaan berpengaruh terhadap munculnya masalah sosial dan lingkungan sehingga perusahaan harus bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah ini.
- Sosialis: Pandangan ini merasa bahwa harus ada penyesuaian yang signifikan dalam kepemilikan dan penataan masyarakat. Perusahaan tidak dapat memiliki 100% atau sepenuhnya dan harus membagikan kepada masyarakat.
- Feminis radikal: Pandangan ini merasa bahwa ada sesuatu yang salah mengenai konstruksi maskulin agresif yang memandu dalam sistem sosial kita. Dalam beberapa hal, ada kebutuhan untuk nilai-nilai yang lebih feminim seperti kasih sayang, perasaan, cinta, memelihara,kerja sama, dan lain sebagainya. Orang-orang dengan pandangan ini merasa bahwa harus ada perubahan mendasar dalam konstruksi sistem sosial.
- Deep ecology: Pandangan ini meyakini bahwa manusia tidak memiliki hak lebih besar dari bentuk lain kehidupan (seperti lingkungan) atas eksistensi. Harus diterima bahwa lingkungan ada dan begitulah adanya, manusia tidak berhak untuk mengubahnya.
Sikap kapitalis murni dan expedientsmengadopsi neo-klasik ekonomi di bawah kerangka utilitarian. Berdasarkan paham utilitarian, segala sesuatu dipandang berdasarkan sisi kemanfaatannya. Dalam hubungannya dengan lingkungan, alam adalah berharga karena kegunaannya bagi manusia. Paham ini mengutamakan kemanfaatan alam sebesar-besarnya bagi manusia. Sedangkan sikap kontrak sosial berpandangan dari perspektif yang berbasis hak. Hak manusialah yang menjadi pertimbangan utama.
Berbeda dengan pandangan yang human-centered,pandangan ekosentris meyakini bahwa segala sesuatu, sebelum pengambilan keputusan, yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan lingkungan. Alam memiliki nilai-nilai yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan dan keputusan oleh manusia. Pandangan ini lebih menyeluruh dimana melibatkan posisi manusia di alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H