"Apa yang membuat kamu terpikat?"
Aku menyukai matanya, satu-satunya mata yang berani kutatap begitu lama. Kau tau, awalnya aku tidak mampu, tapi aku penasaran, mata itu memiliki daya pikatnya sendiri. Kukumpulkan beraniku untuk menatap lebih dalam. Kau tau? Tenang sekali hatiku, aku candu, aku candu menatap matanya. Ada lagi, aku suka pada bibir mungilnya, aku suka caranya tertawa. Dia suka menggangguku, aku kesal, lalu dia tertawa, hei aku suka lukisan di bawah hidungmu itu.
Aku tidak tau mau menamai hubungan ini dengan apa, tapi kami sepakat untuk saling sayang, cukup sampai di sana, selanjutnya kehendak Tuhan. Selentik di hati, rasanya ingin sekali lebih.
Aku tutup rapat rasaku, hanya kita saja yang tau. Namun, angin rupanya terlalu risau untuk tidak mengabarkannya pada yang lain. Angin usil sekali, ulahnya menjadikan ku menuai tanggapan berupa tanya yang menohok.
"Kau serius padanya?"
Aku tersenyum, untuk hal ini kusimpan jawab dalam hati, dia pun tak tau maksud hati, kenapa harus yang lain lebih dulu mengetahui.
Aku sayang, sikapku cerminan rasaku. Titik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H