*Sudah pernah diposting di halaman dinding Facebook pada Minggu, 13 September 13 2009 pukul 12:54am
Dejavu... Siang beberapa waktu lalu--saat saya diperkenalkan seorang teman dengan teman masa kuliahnya, saya merasa kalau sang teman yang dikenalkan itu seperti mengantarkan saya kembali pada sesuatu yang begitu sangat saya rindukan pada beberapa waktu lalu sebelum ini. Bahkan, saking merindukannya, saya pun akhirnya lupa kalau beberapa bulan lalu, saya sedang dan terus mencarinya. Novel! Novel permainan imaginasi Umar Kayam. Mungkin karena dipadatkan jam terbang kesana dan kemari, perlahan demi perlahan ingatan untuk segera menyabet novel itu di salah satu toko buku pun jadi terlewatkan. Padahal saya sudah berjanji untuk mencari dan memilikinya sesegera mungkin. Konon lagi, tulisan salah seorang guru jurnalis saya pada Aplaus edisi 95 (Novel Edition) dalam kotak Senggang di salah satu sudut halaman, juga sedikit berbicara tentang Manhattan itu--saya lebih suka menyebutnya sebagai pulau berbukit. ------ "Eh! Aku nggak bisa nge-add kamoe!" Lucu juga rasanya saat membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh teman yang dikenalkan dengan saya tepat saat acara akbar Aplaus dihelat kemarin. 'Hm, rupanya dia orang yang asyik diajak untuk menjadi teman.' Begitu saya menyimpulkan. Buktinya dia tak segan langsung mencari nama saya di facebook untuk menambah daftar temannya--meski perkenalan singkat kami lewat teman saya yang merupakan teman masa kuliahnya tersebut terkesan cukup profesional. Sebab selain untuk menjaga image (baca: jaim), waktu itu saya juga tak mau dibilang sok kenal sok dekat. Namun disayangkan ternyata akun saya itu memang sengaja dikunci sebagai filter daftar teman secara tak langsung. Begitupun, akhirnya saya segera bertindak untuk meng-add dirinya. 'Manhattan?' Gumam saya dalam hati. Sepertinya ada gambaran yang melompat ke sana ke mari di pikiran saya. Itu yang saya rasakan manakala saya sedang membuka profilnya--tentu setelah dia juga sudah mengiyakan permintaan saya sebagai salah satu temannya di jejaring sosial dunia maya sana. Tapi saya malah tak menggubris adegan yang menari-nari di kepala saya itu. Saya pikir, mungkin nama akhir si teman itu dijadikan nama belakang karena nama studio tempatnya bekerja juga Manhattan. Kendati demikian, potongan-potongan puzzle yang sempat sirna dari kepala saya soal novel yang ingin saya miliki itu seolah-olah mulai terkumpul satu demi satu. Namun entah kenapa saat itu saya malah masih belum sadar kalau nama sang teman itu harusnya mengingatkan saya terhadap novel yang sedang saya cari. Mungkin karena potongan sampul novel itu masih belum membentuk cover yang utuh. Selang beberapa waktu, pernah juga saya bercerita tentang teman yang memiliki akhir nama Manhattan itu kepada teman yang lain. Tak lain ini saya lakukan untuk melengkapi serpihan-serpihan puzzle yang lain. Tapi tetap saja setelah beberapa waktu berlalu, ingatan soal novel yang bersetting di New York itu masih belum menyambangi kepala ini. Untuk menjawab penasaran itu, saya pun memberanikan diri untuk sekadar bertanya dengan seorang officemate yang duduk di belakang meja saya. "Itu New York," jawabnya singkat. Ahh, kalau itu saya juga tau teman! Saking penasarannya dengan potongan-potongan gambar yang sepertinya tak bisa diam itu, saya pun memutuskan untuk mencarinya di mesin pencari Google. Halaman demi halaman saya telusuri. Namun semua keterangan masih menunjuk pada lokasi New York dan Central Park. Hingga akhirnya entah kenapa saya mengambil tabloid Aplaus Novel Edition dan membolak balik satu per satu halaman untuk mengusir perasaan gusar tentang Manhattan itu. Sampai saat saya berada pada halaman hampir akhir tabloid itu, senyum simpul kecil mengembang di bibir saya. 'Eh, apa iya Aplaus pernah membahas tentang Manhattan?' Kembali bibir saya bergumam pelan sambil membuka rubrik Intermeso itu. 'Ah iya! Ini dia yang kucari!' Sontak batin akhirnya melengkapi beberapa puzzle terakhir di kepala saya. Novel buah pikiran Umar Kayam! Novel itu memang sempat buyar dalam beberapa waktu di dalam kepala saya. Bahkan sewaktu saya dikenalkan dengan sang teman yang memiliki nama belakang Manhattan itu, saya masih terus mencari tahu apa yang membuat saya selalu gusar dengan namanya itu. Bukan karena saya penasaran dengan si pemilik nama. Namun serebrum di dalam sel saraf neuron selalu seolah mengirim sinyal bahwa ada sesuatu yang sempat saya tinggalkan di belakang sana soal Manhattan. Dan dari awal saya juga tahu kalau Manhattan itu kerap dipanggil New York. Tapi itu tak cukup menjadi petunjuk untuk mencari tahu sesuatu yang sempat tertinggal dalam beberapa waktu lalu. Sekarang, setelah saya membaca tulisan berjudul Theater of Mind kepunyaan guru jurnalis saya itu, akhirnya saya mendapati kembali apa yang sedang saya cari kemarin-kemarin. Seribu Kunang-Kunang di Manhattan... Apa dia sehebat yang sudah saya bayangkan sebelumnya? Entahlah, saya belum sempat mencari, memiliki dan membacanya sampai saat ini. Gagak Raya No.62 Pukul 23:38 pm Judika B.M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H