Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Menolak Hak Angket sebagai Sebuah Pilihan

Diperbarui: 27 Februari 2024   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.kompas.tv/talkshow/488257/bisakah-hak-angket-ungkap-pemilu-curang

Mengapa saya menolak Hak Angket, padahal ini adalah bagian dari demokrasi ? Keberadaannya sah karena diatur dalam UU. Saya tegaskan, ini berkaitan dengan Hak Angket yang kini berhembus kencang akan dilakukan saat ini. Dengan dalih, mengusut dugaan kecurangan pada proses Pemilu yang baru saja selesai dilangsungkan pencoblosannya,  proses rekapitulasinya masih berlangsung. Hak Angket inilah yang saya tolak, bukan terkait dengan kebijakan pemerintah yang lain.

Saya memiliki harapan besar pada kesatuan bangsa. Seperti apa yang pernah diajarkan oleh guru-guru saya di bangku sekolah, bahwa kepentingan bangsa harus berada diatas kepentingan pribadi dan golongan. Untuk saat ini, saya merasa kesatuan bangsa menjadi hal yang sangat penting.

Saya memahami, Hak Angket adalah proses politik. Maka dasar yang akan dijadikan pegangan dalam proses menegakkan atau pencarian kebenaran adalah kepentingan. Sehingga yang akan terjadi adalah perdebatan menggunakan dalil dalil pembenaran berdasarkan kepentingan golongan yang melekat para anggota DPR. Kebenaran ada dalam hitung-hitungan kekuatan politik yang saat ini ada di lembaga legislatif tersebut. Itupun hasil dari Pemilu lima tahun sebelumnya, yang peta politiknya berbeda dengan realitas hari ini.

Tidak ada yang netral, semua punya kepentingan. Lantas siapa yang akan menjadi hakim yang semestinya netral?  Padahal mereka menganggap Bawaslu dan MK sudah tidak lagi netral, tetapi justru membawa persoalan pada lembaga yang sama sekali tidak netral. Belum lagi didominasi oleh mereka-mereka yang merasa dirugikan, karena dalam hitungan yang sedang berjalan, mereka kalah. Artinya pemenang akan diadili oleh yang kalah. Ini anomali.

Rakyat dengan beragam pilihan politik, terlibat langsung dalam proses Pemilu. Ini artinya secara emosional mereka terikat pada pilihannya masing-masing. Tidak ada yang bisa mengatakan bahwa pilihan si A yang benar dan B salah. Tidak ada yang boleh mengintervensi dan menghakimi pilihan rakyat, apalagi menghina dengan mengatakan bukan pilihan cerdas. 

Sejak awal, dasar memilih adalah hati nurani. Sementara dibanyak perdebatan media yang akan disoal dalam Hak Angket ini salah satunya adalah Bansos. Ini sama saja dengan menuduh sebagian besar rakyat Indonesia tidak memiliki integritas. Tidak bisa menentukan mana yang benar bagi diri sendiri dan bisa dibeli. Saya pikir ini merendahkan rakyat. Mengatakan jangan golput, tetapi melecehkan pilihannya hanya karena tidak sesuai dengan pikiran mereka para pengusung angket.

Perdebatan dalam sidang di DPR dapat menjadi narasi provokasi masyarakat yang memiliki keterikatan pada pilihannya. Ada pengamat yang sangat naif, dengan mengatakan bahwa Hak Angket adalah jalan terbaik daripada proses di jalanan. Bukankah proses politik yang bergulir di DPR selama ini selalu dibarengi dengan demo-demo dijalanan? Selama ini pendemo hanya berbenturan dengan petugas keamanan lapangan atau pengguna jalan yang terganggu.

Tetapi apakah akan sama ketika masing-masing anggota masyarakat merasa punya kepentingan untuk mengamankan pilihan berdasarkan hati nuraninya? Saya yakin pasti beda! Perdebatan di DPR akan menjadi provokasi dari pihak-pihak yang berbeda pilihan untuk berhadap-hadapan.  Belum lagi ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan. Jadi sudah ! Ingat, ada ribuan caleg gagal yang akan nimbrung juga di tempat itu.

Pelaksana Pemilu ditingkatan TPS, itu rakyat biasa, pemilih juga. Jika diangketkan meski yang disasar adalah pengambil kebijakan, namun sebagai pelaksana lapangan, mereka tetap saja menjadi pihak yang tertuduh. Narasi kecurangan, membuat KPPS tidak nyaman, padahal sebagian besar proses yang terjadi clear ditingkatan mereka. Jika ada kekeliruan, penyelesaian sesuai prosedur pun biasanya langsung dilakukan, termasuk PSU. 

Biasanya hal tersebut terjadi bukan sepenuhnya faktor kecurangan yang berdampak pada pidana Pemilu, melainkan soal prosedur yang kurang dipahami atau pemahaman proses yang berbeda. Bisa dipahami karena mereka bukanlah petugas yang berasal dari KPU pusat, tetapi warga biasa, biasanya pengurus RT, yang saya yakini pilihan politik mereka pun beragam. Menurut saya narasi kecurangan, seolah menihilkan kerja keras para relawan demokrasi tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline