Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Pilih Hak Angket Apa Pengadilan Rakyat?

Diperbarui: 24 Februari 2024   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilu curang, memang nggak bikin asik jalannya demokrasi. Kalau tidak salah dengar dari mendengar kata pengamat, biasanya ada tiga tahap. Mulai tahapan sebelum Pemilu dimulai, saat pelaksanaan, dan tahap setelah Pemilu dilaksanakan. Mengingat prosesnya belum selesai dan perbincangannya masih ramai, saya coba ikutan nimbrung. Siapa tahu, benang kusut, sengkarut Pemilu yang katanya begitu, ini mendapat sedikit pencerahan. Kalau tidak, ya mohon maaf.

Belakangan, mas Ganjar, gencar bicara soal kecurangan. Ujungnya dia ngusulin hak angket DPR, yang konon kabarnya itu adalah hak konstitusi yang melekat pada anggota DPR, tujuannya melakukan penyelidikan yang lebih mendalam tentang kecurangan Pemilu yang telah terjadi. Sasarannya, bisa ke penyelenggara Pemilu atau juga ke pemerintah yang sedang berkuasa. Ini bukan menang kalah, tetapi tentang mengungkap kebenaran, begitu komentar para nitizen yang mendukung langkah mas Ganjar. BIsa diterima.

Seperti apa yang saya sampaikan diatas, kecurangan yang nantinya bisa ditelusuri itu bisa dibedah pada tiga ranah. Proses sebelum, pada saat, dan proses setelah. Sedikit menduga berdasar perbincangan pengamat politik yang kini jadi pada laris manis di TV dan Media social, sedikit banyak saya tahu apa yang nantinya akan diangkat sebagai senjata mempertanyakan kinerja para "terdakwa" itu.

Pada saat sebelum Pemilu, proses pendaftaran calon peserta Pemilu utamanya Capres dan Cawapres ada yang dinilai "cacat etika". Mas Wali, belum cukup umur di UU Pemilu sebelum keputusan MK. Begitu MK ketuk palu memenangkan gugatan salah satu warga, mas Wali jadi memenuhi syarat. Tapi naas hakim-hakim MK dianggag melanggar etika. Tetapi itu tidak menghentikan langkah melenggangnya mas wali ke KPU. Ternyata di sini juga bermasalah, KPU dianggap melanggar etika. Dua lembaga negara ini jadi korbannya mas wali sepertinya. Tetapi toh pernyataannya jelas, kedua putusan pelanggaran etika itu tidak berarti mempengaruhi hasil keputusan yang telah ditetapkan. Jadi jelas ya, legal formal, mas wali sah sebagai calon presiden.

Masih soal sebelum Pemilu dimulai, kata "cawe-cawe" viral. Lantas oleh sebagian pihak, pernyataan ini dipahami bahwa presiden berpihak pada salah satu calon. Caranya beragam, satu diantaranya bahkan dianggap cara paling sukses adalah dengan menggelontorkan Bantuan Sosial alias Bansos. Penggelontoran Bansos ini dinilai berhasil merayu rakyat untuk memilih paslon yang diinginkan presiden.

Lantas, melangkah pada saat Pemilu berlangsung. Muncul kasus-kasus seperti surat suara sudah tercoblos, politik uang, satu orang mencoblos lebih dari satu surat suara, dan masih banyak temuan lainnya. Dan pada saat rekapitulasi, ternyata Sirekap, alat bantu yang dipakai untuk transparansi proses perhitungan Pemilu bermasalah. Ini menambah kekuatan untuk membawa Penyelenggara Pemilu dan juga pemerintah pada meja pertanggungjawaban yang namanya hak angket.

Sebagai warga negara, yang dalam banyak kesempatan dilarang untuk golput, pengin juga mengomentari keinginan mas Ganjar dan koalisinya ini. Karena para pengamat dan politisi selalu bilang, suara rakyat itu suara tuhan.

Saya mulai dari calon wakil presiden yang "cacat etika". Saya sepakat, dikemudian hari, seandaianya mas wali benar terpilih, putusan MKMK dan DKPP bisa menjadi beban sejarah. Di tengah politik yang dinamis, ini bisa menjadi senjata yang selalu akan diungkit oleh lawan-lawan politik. Perjalanan pemerintahan menjadi tidak terlalu mulus.  Tetapi karena ini politik, semuanya menjadi sangat tergantung bagaimana kepentingan diakomodir.

Guru besar, meski mengaku netral, tapi titik serangnya jelas menyasar ke siapa. Bahkan di hari tenang pun, kampanye menyerang salah satu paslon masih berlanjut melalui film Dirty Vote. Tetapi setelah ada di bilik suara, ingat, sekali lagi ingat, rakyat yang sudah memenuhi persyaratan sesuai perundang-undanganlah yang memutuskan. Apapun keputusannya, itu adalah hak rakyat secara pribadi, tidak ada yang boleh mengintervensi apalagi mencela pilihan hati nurani setiap pribadi itu.

Pada poin ini, mari kita jujur. Pada saat hari pencoblosan ditempat saya, tidak ada kejadian yang mengganggu jalannya kegiatan tersebut, bahkan hingga perhitungan suara selesai. KPPS bekerja di TPS yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing. Tanpa gesekan apapun, meski fakta menunjukkan, pilihan kami warga berbeda-beda. Semua tertawa bersama, kami kenal siapa-siapa para petugas itu, tetangga kami, para relawan yang bersedia kerja berat, bukan orang asing yang datang menjadi petugas di tempat kami. Bagaimana dengan tempat Anda ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline