Dinginnya Kopeng menusuk hingga ke tulang. Jaket Eiger yang berkali kali kugunakan untuk menaklukkan Merbabu, akhirnya kukenakan lagi. Setelah sempat kulepas dan hanya mengenakan sweater abu-abu. Khas warnaku.
Kabut, kembali menebal setelah beberapa saat sempat menghilang. Matahari belum menunjukkan diri atau barangkali enggan mengganggu. Mungkin saja ia tahu, ada sepasang anak manusia yang sedang mencoba menikmati kehangatan meski tanpa kehadirannya. Kehangatan dari sebuah rasa ajaib yang bernama cinta.
"Coba sate kelinci yuk!"
Alina mengangguk. Ia masih saja mengatupkan kedua tangannya, seperti orang berdoa. Mulutnya mendesis, mengekspresikan bahwa dirinya kedinginan. Perlahan ia melangkah mendekatiku. Kurengkuh tangannya. Terasa dingin sekali. Jemarinya mengerut.
"Kamu nggak tahan dingin?"
"Nggak apa-apa."
Alina mengajakku ke Kopeng. Puncak yang terletak antara kota Salatiga dan Magelang. Hanya butuh waktu setengah jam dari Salatiga dengan naik motor. Ia ingin refresing, menikmati Sunrise. Tetapi bukannya matahari yang kami dapat, justru kabut tebal.
Subuh kami berangkat. Han meminjami aku motor. Modal perjuangan dia bilang. Sebagai sahabat, ia sangat mengerti sobatnya yang anak rantau ini. Butuh banyak support. Apalagi di saat-saat seperti ini, ketika semuanya harus dipertaruhkan untuk mengambil hati. Meski aku berkali-kali meyakinkan dia, bahwa aku akan maju dengan menjadi diriku sendiri. Apa adanya. Tapi dia justru bilang, "kamu kan nggak ada apa-apanya." Kami semua tertawa. Obrolan mengisi waktu luang ketika lagi bersama.
Beberapa kali, teman-temanku juga bilang, "Alina sudah buta kali ya Ndes." Kecuali Mang Sat, yang selalu kasih jempol saat melihatku bersama Alina. Sejak awal, ia memang mendukungku. Meski jadi bahan bercandaan, tetapi sejujurnya aku tahu, semua teman-teman itu juga mendukungku. Mirip seperti saat aku terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas dulu.
Alina, jelas berbeda denganku. Kulitnya putih bersih, layaknya gadis keturunan Tionghoa. Aku gelap, temaram, begitu aku memberi gradasi dari gelap pekat. Ibaratnya seperti siang dan menjelang petang. Wajahnya mempesona, daya pikatnya sempurna. Pun juga aku, jika urusan daya pikat, aku juga punya. Setidaknya beberapa mahasiswa Jepang yang ikut kuliah musiman di kampus pernah bilang, aku ini eksotis. Jawa tulen kelahiran Sumatera. Jika kini kami bersama, orang dengan mudah menyebutnya, keajaiban.
Keturunan dan tulen, masih menimbulkan perdebatan dalam perbincangan awam. Mereka mengenalnya dengan istilah pribumi dan nonpribumi. Masing-masing pihak membangun prasangkanya sendiri. Menganggap diri lebih baik ketimbang yang lainnya. Mungkin hasil tinggalan pemikiran penjajah yang terus bertahan. Merdeka secara geopolitik, tidak selalu dibarengi dengan merdeka dari hegemoni berpikir orang-orang yang menjajah. Merdeka tetapi masih berpikir ala orang-orang terjajah.