“Kamu nggak pulang to le?”
Aku menggeleng.
“Ya sudah, lebaran ke Palur saja.”
Begitu pesan bude, sewaktu aku mengunjunginya, menjelang bulan Ramadhan.
“Sambil nanti jaga mbahmu di rumah kidul. Supaya kamu bisa antar ke gereja.”
Begitu diakhir pesannya.
Libur panjang, untuk alasan apapun, itu bikin dilema. Antara pulang kampung, atau tetap berada di kos-kosan. Apalagi bapak sudah mewanti, aku tidak usah pulang saja. Kampung lagi paceklik. Tetapi tetap di Salatiga, alamat bakal kesepian. Teman-teman pada pulang, bisa sulit cari traktiran.
Sejak konflik internal mendera tempat kerja bapak, kiriman tidak pernah lancar. Padahal, aku sudah terlanjur menikmati kehidupan sebagai mahasiswa. Karena keadaan itulah aku jadi punya keberanian. Menemui kaprogdi, kajur, dekan atau siapa saja yang bisa dan mau ditemui untuk membicarakan kelanjutan kuliahku. Padahal sebelumnya, aku pesimis bahwa pengajuan beasiswaku, yang pernah dijanjikan sebelumnya benar-benar bisa terwujud. Mengingat syaratnya. Tetapi kali ini, aku tidak peduli, yang penting aku mencoba. Dan ada optimisme.
Ini mungkin makna dari ungkapan, semut pun jika diinjak berani menggigit. Maksudnya, keterpaksaan membuat orang justru berani membangun optimisme. Karena dia tidak punya banyak pilihan. Selain itu, bergantung sepenuhnya pada harapan. Ibarat masuk sumur, sudah sampai ke dasarnya. Pilihannya cuma, merangkak ke atas. Tidak mungkin ke bawah lagi. Sudah mentok! Jadi jika mau jatuh, jangan tanggung. Tapi yang terakhir ini gurauan saja ya. Jangan diseriusi!
Benar saja. Akhirnya, aku berhasil mendapatkan beasiswa. Aku tidak perlu pusing lagi memikirkan biaya kuliah. Juga bapakku tentunya. Ternyata, kesulitan orang itu tidak berhenti jika satu persoalan sudah teratasi. Selalu ada lagi, lagi dan lagi. Masalahku kini adalah, biaya hidup plus kehidupan sebagai mahasiswa.
Meski biaya hidup menjadi persoalan, aku bersyukur masih sangat bisa memanfaatkan kepala dengan segala potensinya. Melengkapi status sebelumnya, mahasiswa beasiswa yang serabutan. Kerja apa saja, bahkan tidak selalu harus dimaknai dengan uang. Makan siang, makan malam, juga bolehlah. Hidup itu harus dibikin semengasyikkan mungkin. Walaupun isi kantong menentang.