Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Jokowi, Demokrasi, dan Meritokrasi

Diperbarui: 23 Januari 2019   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

2014 silam, Jokowi tiba-tiba diajukan menjadi capres. Ketika jabatan barunya belum ada setengah jalan. Publik terbelah, masing-masing membangun landasan pikirannya sendiri.

Jokowi, sosok yang tak pernah terdengar sebelumnya di media nasional, hingga akhirnya membuat elit terpana dengan kemenangan telaknya menjadi walikota Solo untuk periode yang kedua, 91 persen.

Memulai memimpin Solo di periode pertama dengan bekal 37 persen dukungan rakyat. Jokowi melakukan  banyak kebijakan yang dapat dinikmati warganya. Mencairkan berbagai kebekuan birokrasi. Hasilnya tidak sia-sia. Selain angka kemenangan di 91 persen, berbagai penghargaan juga menghampiri Solo dan tentu walikotanya.

Pers mulai membicarakan sosoknya, elit politik mulai kasak kusuk membicarakan kiprahnya. Sebagian masyarakat mulai meyakini ramalan, 'satria piningit'. Pada tahap itulah, banyak elit merasa memiliki Jokowi. Jadi jangan bilang, Jokowi ditemukan ketika ia masih bukan siapa-siapa.

PDIP menggandeng Jokowi sebagai walikota Solo memiliki alasan, prestasi Jokowi sebagai pengusaha, dan kiprahnya diorganisasi pengusaha yang ia geluti. Bukan tanpa alasan, dan tiba-tiba. Apalagi, ketika kemudian banyak elit  membujuknya untuk pindah ke Jakarta, tentu bukan karena Jokowi masih tukang kayu yang tanpa prestasi. Jika itu yang anda pikirkan, anda merendahkan orang-orang hebat yang mendorong, mengajak, dan memilih Jokowi.

Ia tidak memiliki "darah biru" dalam dunia perpolitikan di negeri ini. Tetapi demokrasi, memberi ruang pada siapapun yang memiliki prestasi maju menjadi pemimpin. Itulah meritokrasi. Partai politik, memiliki tanggungjawab mencari dan membentuk orang-orang menjadi hebat untuk diajukan dan dipilih oleh rakyat. Bukan justru malah mantan koruptor.

Tidak mudah bagi seorang "jelata" menjadi pemimpin, terlebih di tengah masyarakat yang mengaku demokrasi tetapi menghidupi prinsip-prinsip feodal. Meritokrasi masih sebatas gambaran ideal para ahli, teori-teori di kelas-kelas. Sementara praktiknya, mereka masih percaya tradisi "urut kacang". Senioritas, pengalaman hanya didasarkan lamanya seseorang bercokol di satu tempat, bukan terobosan dan berorientasi pada solusi. Benci KKN, tapi percaya nepotisme.

Selama 4 tahun ini, Jokowi berusaha membuktikan, bahwa "jelata" juga bisa menjadi pemimpin. Kerja, itu modal Jokowi, sebab dia tidak mungkin bergantung pada garis kekuasaan yang otomatis melekat pada kedarahbiruannya, karena memang dia tidak punya.

Tetapi sekali lagi, sebagian masih dengan gagah memakinya, karena merasa sederajat, "jelata". Karena mereka tahu darimana Jokowi berasal, ia adalah sesamanya yang karena demokrasi dan meritokrasi berhasil meraih puncak eksekutif tertinggi. Tanpa alasan jelas, kebencian ditumpahruahkan kepada sosok yang semestinya dihormati, baik sebagai pribadi, sesama manusia terlebih bagi seorang pemimpin yang terpilih karena proses konstitusional.

Kini, 2019, Jokowi kembali dicalonkan menjadi presiden, melanjutkan apa yang sudah dia mulai. Kontestasi baru, dengan penantang lama.

Pengalaman 4 tahun lebih sebagai presiden, tak lantas membuat Jokowi kehilangan rasa jelatanya. Terlebih bagi pembencinya, yang entah karena apa kebencian itu mereka patri dan simpan di lubuk hatinya yang terdalam. Jokowi masih saja sasaran caci maki. Merendahkan kemanusiaannya, yang mungkin tak diajarkan oleh prinsip komunis sekalipun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline