Biar dibilang kekinian, saya juga rajin menyelancari dunia media sosial. Mengumpulkan gossip-gosip terbaru. Siapa tahu bisa dimanfaatkan saat pengin nulis cerpen. Dramatisasinya biar tidak ketinggalan era. Syukur-syukur bisa ketularan viral. Numpang terkenal. Batu loncatan. Nasib orang kan tidak ada yang tahu. Hari ini Kompasianer centang hijau, dengan icon lucu bertuliskan junior, tapi besok?
Mirip seperti era penjelajahan samudera bangsa Eropa yang menemukan hal-hal tidak terduga, begitu juga dengan penjelajahan dunia maya. Tidak peduli meski yang ditelusuri itu hanya sekedar social media. Memelototi up date-an status teman. Atau temannya teman. Atau teman punya teman, itu temannya. Sebenarnya lebih pas jika analoginya adalah penjelajahan kolam rekreasi dengan menggunakan perahu bebek kayuh, ketimbang penjelajahan samudera. Apapun itu, esensinya adalah ketemu dengan sesuatu yang unik. Baru. Menginspirasi, atau bahkan menyebalkan. Komplitlah pokoknya.
Malam ini, saya ketemu dengan up date an status mantan teman sekerja. Masih muda, ukuran lama mengajar, dia itu murid saya. Tetapi soal pengalaman, saya harus banyak belajar dari teman satu ini. Idealismenya menurut saya cukup untuk membuat saya dan teman-teman lainnya manggut-manggut.
Ia rela meninggalkan kemapanan dan menghidupi ketidakmapanan berikutnya. Sepertinya teman satu ini menikmati pilihannya. Meski pada saat bergumul dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada tangis. Ada, namun itu tidak menggoyahkan pilihan hatinya. Sampai hari ini, saya tidak tahu apa yang sebenarnya dicari oleh guru muda satu ini.
Hari ini yang saya tahu, dia berada di pedalaman Kalimantan Utara. Mengajar di sebuah SMA Negeri. Membawa serta idealismenya. Dengan modal sangat terbatas, mendirikan sebuah taman bacaan, yang ia beri nama "Taman Baca Lumbis". Meski dia bilang ini hanya bentuk dari eksistensi, dan bagian dari upaya "memperalat" para siswanya. Tetapi saya yakin, teman saya ini punya mimpi besar.
Di tengah minimnya budaya baca dan menghentaknya denyut peradaban yang disebabkan gadget, teman saya ini sedang berenang menentang arus. Meski dia sendiri mengaku tidak bisa berenang. Di tengah tradisi sungai, ia berani hanya mengandalkan jerigen sebagai pelampung. Untuk ini, saya berani bilang, jika dia pemberani.
Modalnya cukup, pedalaman Papua pernah menempanya. Juga sebagai guru. Keterbatasan memaksanya berinovasi, biar tidak jenuh, begitu alasannya. Apapun itu, sekecil apapun perubahan yang coba dihembuskan adalah bentuk "perlawanan". Setidaknya sesuatu pernah dibuat. Teruslah berbuat kawan, Donal Eryxson Lomban Gaol, seperti yang kamu bilang, "konsistensi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H