Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Kapan Kita Bangga pada Pangan Lokal?

Diperbarui: 20 Juni 2018   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok pribadi olahan dari berbagai sumber

Membaca tulisan bung Tilaria Padika, Masyarakat Pemakan Madu di Kaki Gunung Kauniki, saya jadi ingat pelajaran semasa SD dulu. Kalau tidak salah, mata pelajaran IPS. Dipelajaran itu disebutkan keanekaragaman suku, ras dan agama yang ada di Nusantara ini. Mulai dari pakaian adat, senjata tradisional, hingga ke soal makanan pokok tiap-tiap daerah dan suku bangsa tersebut.

Jagung adalah makanan pokok orang Madura, Sagu makanan pokok orang Maluku dan Irian Jaya (Papua), Padi makanan pokok orang Jawa. Dipelajaran itu juga dibahas, jika beberapa daerah di Jawa pun mengolah Singkong sebagai makanan pokoknya. Seperti daerah Gunung kidul dan Wonogiri.

Tetapi sepertinya, kini tidak ada lagi pelajaran yang menyatakan demikian. Karena semuanya sudah seragam. Padilah makanan pokok orang Indonesia, tidak terkecuali, dari Sabang sampai merauke, dari Talaud hingga ke pulau Rote.

Padi, Beras, Nasi, sepertinya berhasil menggerus popularitas bahan pangan lokal tersebut. Bahkan memonopoli pemahaman. Ketika bicara makanan pokok, orang segera mengidentikkannya dengan padi, beras atau nasi. Kondisi ini diperparah dengan narasi yang sering muncul di media. Misalnya pembaca berita mengatakan, bahwa karena sulit makanan "terpaksa" masyarakat setempat memakan ubi. Atau karena beras mahal petani  yang gagal panen "terpaksa" mengkonsumsi Singkong. Pernyataan-pernyataan seperti ini pernah saya dengar.

Padi tidak hanya sekedar meminggirkan kekayaan pangan lokal, tetapi menempatkannya sebagai selebritas pangan. Dibesarkan oleh media dan kebijakan pangan para pemangku kepentingan. Padahal dari nilai kandungan gizi, pangan lokal tetap dapat bersanding dengan padi tanpa harus dianggap sebagai pangan kelas dua, tiga, atau bahkan empat.

Gencarnya pembangunan sawah-sawah baru di daerah masyarakat bukan "pemakan" padi, sebenarnya menimbulkan tanya. Bagi saya, ini tidak saja akan meminggirkan keberadaan pangan lokal, namun juga kearifan budaya masyarakat setempat. Belum lagi dampaknya bagi ekosistem di daerah tersebut.  Ditambah jika kita bicara pada ketahanan pangan nasional. Menjadi sangat rentan.  Karena kemudian hanya bergantung pada satu jenis bahan pangan.

Belakangan memang ada penggiat pemanfaatan pangan lokal, tetapi belum menempatkan pangan lokal kembali sebagai idola. Keberadaannya masih merupakan suplemen, karena sebagian hanya diolah sebagai panganan khas. Oleh-oleh. Depok pernah mewacanakan, sehari tanpa nasi. Tetapi saya tidak dengar lagi bagaimana kelanjutannya. Apakah masih hidup dalam sepi, atau juga mati suri, sebelum sempat berkembang.

Saya juga pemakan nasi, tetapi saya ingin singkong tetap bergengsi. Jagung tetap diperhitungkan sebagai bahan makanan pokok, bersama dengan sagu. Bukan hanya mencetak sawah bagi padi, tetapi juga bagi keladi, dan umbi-umbian lain. Sehingga di materi pelajaran IPS SD, anak-anak masih bisa belajar dan mengenal sagu sebagai bagian dari sekian banyak alternatif makanan pokok yang ada di negerinya.

Kelak kita tidak perlu repot mengimpor beras dari Vietnam, tetapi mendatangkan jagung dari Madura. Beras mahal, tinggal tunggu operasi pasar dengan gelontoran Singkong lampung. Dan pasti masih banyak lagi, karena Madu belum saya sebut di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline