Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Liburan Murah dengan Filosofi Indah

Diperbarui: 17 Juni 2018   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

Mencintai itu tidak harus menunggu liburan kan? Betul! Tetapi bagi saya, guru yang bekerja dari sebelum subuh dan pulang menjelang magrib, kadang terkendala perjumpaan. Ternyata LDR itu bisa terjadi, bukan karena orang yang dicintai benar-benar jauh. Ketika secara fisik mereka dekat pun, tidak selalu hubungan emosional itu terbangun dengan sempurna.

Berangkat kerja ketika anak-anak belum bangun. Pulang ketika mereka hendak beranjak tidur. Tubuh letih, membuat emosi tidak stabil. Kualitas komunikasi, hanya menggunakan energi sisa. Tidak terlalu jernih untuk mendengarkan celoteh dan canda anak-anak. Menanggapi hanya sambil lalu. Meski mencoba berusaha maksimal, menjadi pendengar yang baik. Saya tetap tidak yakin dengan kemampuan saya itu. Terbukti, ketika anak-anak mengungkit; "kan Deyna udah cerita?" Dengan polos saya hanya bisa jawab, "Kapan?"

Ibukota yang penuh sesak, sering tidak memberi cukup ruang pada kebutuhan-kebutuhan rohani. Simpati, empati, harga diri, apresiasi dan masih banyak lainnya, bisa mati pelan-pelan di kota ini. Ketidakpedulian, arogansi, egois terus menerus menggerus sisi-sisi kemanusiaan. Semua hal disederhanakan menjadi, materialisme. Untung dan rugi. Sehingga, batin kita begitu mudah tersentuh ketika ada satu atau dua orang masih memegang prinsip nilai-nilai cinta kasih itu. Sosok dan prilakunya mudah viral. Karena mereka langka. Dalam ketidakberdayaan, merekalah inspirasi, idola dan pahlawan.

Ketika kita berani memberi, ada kekuatiran, ini trik pengemis. Bisa saja penipuan dengan modus menggunakan bayi sewaan. Ketika kita peduli, misalnya, memberikan tempat duduk di bis tranjakarta pada yang berhak. Ada begitu banyak orang yang tidak berhak acuh saja membiarkan mereka yang berhak duduk tetap berdiri dengan menutup matanya. Ketika kita menyeberang pada tempatnya, parkir di semestinya, ada begitu banyak orang yang justru beruntung karena kedegilan prilaku melanggarnya. Jalanan ibukota mendidik kita mati rasa.

Cinta itu ternyata harus dikelola. Baranya tidak secara otomatis terus menyala, hanya karena kita dilahirkan sebagai manusia. Andainya ada sekolah yang mempelajari bagaimana cinta ditumbuhkan, dijaga dan di terapkan, mungkin akan laris manis.

 Sebagai orang tua, saya pun rindu anak-anak saya tetap memiliki rasa cinta. Mampu menghargai orang lain karena mereka merasa dihargai. Merasa dicintai agar kelak mereka tetap kikuk untuk mencintai. Meski hidup di tengah hingar bingarnya materialisme.

Liburan, bagi saya, bukan sekedar; pergi kemana? Bisa selfie atau wefie dengan latar belakang apa? Tetapi apa yang bisa dipelajari bersama di tempat-tempat itu. Sambil belajar bagaimana saya, istri dan anak-anak membangun komunikasi yang mungkin saja selama ini terkendala. Melatih diri peduli, membangunkan sel-sel kemanusiaan yang mungkin setelah sekian lama tidak lagi diaktifkan. Saya mulai dengan cara yang sangat sederhana; mengantri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline