Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Jejak Primitif Modernisasi

Diperbarui: 16 Juni 2018   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Angin laut semilir membawa hawa dingin pagi. Matahari semburat merah, merona, malu-malu menampakkan dirinya di timur nan jauh. Pagi, tepat di hari raya idul fitri cuaca cerah. Alam ikut larut dalam kebahagiaan mereka yang merayakan hari kemenangan.

Karena ingin menikmati segarnya udara, saya berangkat pagi buta. Dengan keyakinan, pasti suasananya lebih sepi dari biasanya. Ketika umat islam berbondong ke masjid dan lapangan untuk sholat eid, saya bergegas menuju pantai Ancol. Tetapi ternyata, bukan hanya saya yang berpikiran demikian.

Pantai Ancol, sudah dipenuhi oleh para penikmatnya. Mereka adalah penghuni Jakarta dan sekitarnya yang mungkin tidak tergoda untuk pulang kampung. Bisa karena memang tidak punya kampung, asli Jakarta dan sekitarnya, atau orang luar Jakarta yang justru berlibur di ibukota. Ada banyak alasan, tidak terkecuali saya. Sehingga, saya perlu beberapa kali memutar untuk mendapatkan tempat parkir.

Menikmati pagi Jakarta di pantai, memang terasa berbeda, daripada biasanya. Bergelantungan di Transjakarta, bising bunyi klakson, belum lagi jika harus beradu nyali dengan pengendara saat menyeberang jalan. 

Mudik, mungkin adalah bagian dari siklus alamiah untuk Jakarta. Memberi ruang bagi kota penuh sesak dan berbeban berat ini untuk rehat sejenak. Sekedar menghela nafas. Refresh, agar beberapa hari ke depan bisa segar kembali. Menyambut para pemudik dan mungkin tetangga kampungnya.

Melepas penat, bersama pengunjung yang lain saya ikut berolahraga. Pedestrian atau apalah namanya karena ini dipinggir pantai, sangat nyaman dan lebar. Ideal digunakan untuk lari atau jalan santai, sambil menikmati pemandangan birunya lautan. Meneduhkan dan menenangkan perasaan.

Di titik tertentu tersedia peralatan fitness outdoor. Saya mencoba beberapa, ingin melihat kekuatan fisik dengan berat badan yang sudah tidak ideal ini. Beberapa alat masih menunjukkan sisa kejayaan selagi muda, tetapi sebagian besar menunjukkan bahwa waktu bisa menenggelamkan banyak hal.

Lelah, saya duduk ditepian pantai. Tumpukan batuan dijadikan penguat pantai dari hantaman ombak, mencegah abrasi. Sekaligus memberi nuansa dekoratif bagi bibir pantai reklamasi yang mungkin saja tidak terlalu seksi ini.  Namun, pandangan saya terganggu. Sampah sisa makanan dan plastik berserakan diantara bebatuan tersebut. Selalu, ini jadi pemandangan yang sangat mengganggu di banyak tempat wisata di negeri ini. Sepertinya ini sisa aktivitas tadi malam. Belum sempat dibersihkan petugas pembersih.

Bukan soal belum dibersihkan atau sampah itu mungkin saja terlewatkan oleh petugas pembersih bagi saya persoalannya. Tetapi pada mereka yang dengan enaknya membuang dan meninggalkan sampah itu begitu saja. Padahal, ada begitu banyak tempat sampah tersedia di sepanjang pantai ini. Sehingga bagi saya, ini persoalannya adalah dinamika yang ada di kepala mereka.

Jika merujuk pada KBBI, modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Maka sebenarnya para pembuang sampah sembarangan itu masih menggunakan nalar primitifnya untuk hidup di zaman modern.  Atau mungkin, mereka adalah bangsa  primitif  yang keliru lahir di zaman now. Entahlah !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline