Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Menjadi yang Terbesar di Mata Tuhan

Diperbarui: 3 Maret 2018   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : https://pixabay.com/en/night-photograph-starry-sky-2183637/

Pulang kerja, telinga saya, suka atau tidak harus mendengar pembicaraan orang-orang di sekeliling. Risiko sebagai pengguna angkutan masal. Bukan sok idealis sebagai bentuk partisipasi mengurai kemacetan Jakarta.

Ada beberapa alasan, yang menurut saya cukup mendasar. Pertama, cara ini praktis. Jalan, duduk, merem, nyampe. Kedua, ngirit. Tidak perlu beli bbm, bayar tol, parkir plus nyiapan gopekan buat muter. Ketiga, ini lebih penting dari kedua sebelumnya, karena memang tidak ada pilihan lain yang tersedia di rumah.

Di Jakarta, bukan hanya kaki lima yang diokupasi. Ruang-ruang publik lain juga banyak diubah jadi ruang-ruang pribadi. Jalan raya tiba-tiba ditutup, ada kawinan, ada orang dagang, ups! Kali dan kolong tol jadi perumahan, modal cupet. Klo gubernurnya, pakai dp 0 persen, ini modal minus. Termasuk, ruang udara bebas di dalam angkutan umum.

Di angkutan umum, baca; angkot, orang bebas bicara. Mulai dari urusan kantor, bisnis tetangga, artis kawin lagi, masakan istri keasinan, hingga pembicaraan yang asiknya diomongin berdua di atas ranjang sebelum tidur. Tumpah ruah. Mungkin tidak sabar menunggu sampai rumah.

Harap maklum, bagi komuter jalanan adalah roda kehidupan. Berangkat masih gelap pulang sudah gelap. Jadi rumah atau angkutan umum tidak lagi berjarak. Orang tidak lagi peduli, ini pembicaraan yang dapat di konsumsi publik atau tidak. Persis seperti dunia maya.

Satu kali, saya mendengar pembicaraan dua orang, yang satu mengaku kenal A, kenal B juga kenal C. Ke lawan bicaranya, ia selalu bilang "kalau ada urusan sama dia, bilang saja nama saya, tahu dia." "Beres pasti!" dia menambahkan.

Beberapa yang dia sebutkan, kebetulan saya tahu. Bukan karena saya juga kenal. Tetapi memang nama itu terkenal. Sering nongol di TV, koran, intinya dia bukan orang biasalah. Sebagai bentuk penguatan atas pengakuan "kenalnya" itu. Dia keluarkan beberapa kartu nama, lantas untuk lebih meyakinkan dia tunjukkan hp-nya.

Mungkin ada nomer nama-nama yang tadi disebut. Saya tidak bisa lihat, apa yang ditunjukkan dari hp itu. Lagian saya juga tidak ingin tahu dan ambil pusing. Tetapi ada yang saya pusing dibuatnya, bicaranya yang tidak habis-habisnya. Nadanya kadang ditinggiin, matanya pakai memandang kami si penumpang malang. Tidak melulu ke alamat lawan bicara yang dituju.

Teman bicaranya hanya manggut, manggut. Kesel atau emang tanda mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Seingat saya, pembicaraan terhenti ketika salah satu mereka turun. Anehnya, tidak ada pertanda, bahwa mereka adalah dua orang yang sudah mengenal sebelumnya. Hmmm, epik.

Dalam diam, saya mikir juga. Kesuksesan itu bagai magnet. Ukurannya beragam, menurut sosiologi tergantung apa yang dihargai oleh masyarakat. Bisa jabatan, bisa juga penghasilan. Sepertinya susah cari ukuran lain selain dua hal itu. Jadi jika ingin dikelilingi banyak orang, tidak ribet. Jadi saja orang sukses, he..he.., ribet juga ya.

Ada yang datang, nempel tetapi ingin menjadikan dirinya sendiri hebat. Supaya orang lain bilang, "wah hebat ya, kamu kenal sama dia." Ada juga yang datang supaya urusannya jadi gampang. Kan kenal! Macam-macamlah. Bentuk manipulasi eksistensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline