"Nanti kalau anakmu terjatuh, ya jangan lantas yang kamu pukulin itu lantainya. Tetapi kasih tahu, kenapa anakmu bisa terjatuh di situ."
Begitu pituturibu saya. Perempuan bersahaja, yang pendidikan formalnya hanya berada di level terendah pendidikan dasar. Bangku SD. Tetapi soal kehidupan, bagiku, beliau adalah panutan. Ia mendidik kami anak-anaknya menggunakan pengalaman hidupnya. Empiris.
Satu kali beliau pernah bilang; yen welas itu, ojo tanpo asih.Sulit bagi saya menterjemahkannya. Tetapi kira-kira begini yang ia maksudkan ; jika kamu mengasihi orang lain, hendaklah kamu itu mengasihi dengan bijak. Lagi menurutnya, kasih yang tidak bijak itu justru dapat menjerumuskan. Utamanya dalam hal mendidik anak-anak.
Awalnya bagi saya, itu sulit dipahami. Tetapi seiring berjalannya waktu, perlahan saya mampu memahami pitutur sederhana ibu saya itu. "Kalau anakmu lagi pilek, mesti ia merengek, ya jangan kamu belikan es." Begitu implementasi sederhananya. Sepertinya sepele, tetapi tidak mudah bagi orang tua memberi pemahaman bagi anaknya untuk tidak minum es ketika mereka merengek. Kadangkala bujuk rayu tidak mempan. Cara paling mudah, turuti saja kemauannya, kasihan juga jika tidak dituruti. Alhasil, esoknya orangtua direpotkan dengan sakitnya yang bertambah parah.
Berapa banyak orang tua yang membuat anaknya terdiam dari merengek dengan memberi janji-janji palsu atau menakut-nakuti? Satu hal yang lazim dan sering saya lihat, memukul lantai dan membuat si lantai bersalah ketika sikecil yang dikasihi terjatuh. Orang tua seringkali terpaksa tidak jujur, dengan dalih kesenangan yang dirasakan anak-anaknya. Namun apakah orangtua sadar dampak jangka panjangnya?
Sejak kanak-kanak di biasakan dengan buaian-buaian manis. Mengalihkan kesalahan pada objek-objek yang tidak tahu menahu. Lantas tidak memberi kesempatan anak menjalani kenyataan, yang sebenarnya dapat memberinya pengalaman dalam melanjutkan hidup. Orang tua, merampas hak anak untuk jujur melihat realitas yang dapat membuat mereka menjadi pribadi tangguh. Giliran nanti anaknya berpribadi cemen, orangtua juga yang kelimpungan.
Itu soal orang tua dan anak, tetapi ternyata pitutur perempuan tamatan SD itu berlaku universal. Jika keluarga adalah masyarakat terkecil dari sebuah negara, maka skalanya bisa diperlebar. Urus daerah apa negara itu ya seperti orang tua mengurus anak-anak. Pemimpin sebagai orangtua, ya sudah semestinya menjalankan kebijakan yang menggunakan kebijaksanaan.
Pemimpin itu harus berani bilang salah, kalau memang itu salah. A ya harus dibilang A, jangan dibilang B. Jangan karena tujuannya membuat anaknya gembira lantas menerabas aturan dan membuat yang salah jadi benar. Dari jaman jebot, jalan itu dibuat untuk kepentingan akses bersama. Bukan kepentingan segelintir orang untuk berjualan, seperti jalan Jati Baru Tanah Abang.
Memulai sesuatu dengan berpikir keliru, itu jelas menjerumuskan, apapun dalihnya. Sama dengan memberi pondasi berpikir yang salah pada anak-anak. Pemimpin itu harus menegaskan nilai-nilai yang benar dalam menjalani kehidupan bersama, bukan sebaliknya. Konsisten pada apa yang seharusnya, meskipun itu tidak mengenakkan. Pendidikan dimanapun arasnya memang demikian. Termasuk dalam mendidik masyarakat. Dampaknya perlu dipikirkan, karena hidup dan kehidupan bersama itu kan mesti berlanjut. Bukan hanya kepentingan hari ini saja. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H