Bertahun-tahun ada periode tertentu yang membuat banyak orang berteriak ; daging mahal ! Media mengekspos berhari-hari. Pedagang mogok berjualan, bulog operasi pasar, kran impor dibuka, wacana bikin peternakan, impor indukan, impor anakan, insentif buat peternak dan masih banyak yang lainnya lagi. Bahkan, tol laut pertama gagasan sang presiden, buat mengangkut sapi dari NTT. Muara dari semua itu adalah ; rakyat dapat menikmati daging, karena harganya terjangkau.
Tetapi kini tiba-tiba, portal penghalang diberlakukan. Memajaki pemotongan hewan. Sapi sebagai salah satu komoditas yang terbidik, memang mahal, karena stok terbatas. Meski bisa disubstitusi, namun sepertinya bagi masyarakat, itu sudah menjadi kebutuhan pokok. Jadi kemahalannya bukan karena daging sapi adalah barang mewah. Ini hanya soal permintaan dan penawaran pada prinsip ekonomi. Bukan seperti jaman dulu yang makan daging nunggu lebaran. Atau pemerintah ingin me-mewahkan daging sapi, lagi seperti dulu-dulu? Dimana sebagian masyarakat masih jauh dari tingkat kesejahteraan? Jika seperti itu, kok sepertinya niat para pemimpin negeri ini mulai slenco antara satu dengan lainnya.
Pemerintah memang menargetkan perolehan pajak dapat ditingkatkan, bahkan Dirjen Pajak mundur karena target ternyata tidak tercapai. Ini berarti posisi pegawai pajak tidak lagi terlalu nyaman. Mereka harus lebih bekerja keras agar target tercapai, dan pembangunan berjalan sesuai perencanaan. Kreatifitas diperllukan untuk membidik potensi pajak. Namun bukankah itu juga harus dibarengi dengan perspektif berpikir yang benar. Muara dari perolehan pajak yang besar, harus dikembalikan bagi rakyat. Mendanai setiap solusi dari persoalan-persoalan rakyat, termasuk bagi terciptanya masyarakat yang sehat karena kecukupan gizinya terpenuhi. Persoalannya, selama ini adalah; rakyat mengeluh daging mahal. Solusinya baru dicari dan dicoba, belum sepennuhnya menampakkan hasil. Kenapa justru muncul sebuah kebijakan yang menghambat bagi upaya-upaya tersebut? Apakah ini bagian dari ego sektoral yang oleh Presiden diwanti-wanti untuk dihilangkan? Entahlah, hanya para pengambil kebijakan yang bisa menjelaskan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H