Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Negeri yang akan Melahirkan Banyak Pahlawan

Diperbarui: 31 Oktober 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pujangga banyak menggambarkan Indonesia sebagai negeri yang elok rupawan. Kekayaan alamnya, selama berabad-abad menghadirkan banyak pedagang dan petualang. Tak terkecuali, mereka yang serakah ingin mengeksploitasi. Penduduknya ramah, terbukti pendatang hilir mudik silih berganti. Tradisi berbaur, keyakinan pun melebur. Sehingga kondisi itu melahirkan kesimpulan ; Indonesia negeri majemuk, plural atau multicultural.

Kekayaan negeri di sini tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan penduduknya. Kekayaan selain anugerah juga adalah petaka. Petaka karena tidak tahu bagaimana mengelola, petaka karena jadi sumber konflik, petaka karena mengundang banyak para petualang ingin berkuasa. Petaka karena keserakahan masih menjadi domain utama pikiran.

Sumber gizi ada di sekeliling, tetapi masyarakat masih percaya dengan apa yang ditawarkan oleh paket kemasan. Telur dari telur ayam kampung yang mereka pelihara, sebenarnya jauh lebih sehat dari telur yang dijual dipasaran. Bayam begitu mudah ditanam dan tumbuh, kangkung menjalar liar di empang mereka biarkan. Banyak yang tidak tertarik, karena tidak ada label harga di setiap ikatnya. Ikan, sumber protein, masih bisa mereka cari dengan harga murah, bahkan jika perlu cukup di pancing, pun tidak menarik karena tidak seperti daging sapi yang impor. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau. Saya sedih kenapa ungkapan ini ada, masyarakat memang tidak salah, yang salah adalah pencetus ungkapan itu. Coba jika ungkapan itu tidak ada, mungkin penduduk negeri ini akan selalu percaya diri dengan apa yang mereka miliki.

Hutan, dengan beranekaragaman hayati dan fungsi vital lainnya. Tidak lagi bernilai. Rotan, kayu ribuan jenis, tanaman obat, lahan gambut, sumber air, pemroduksi oksigen semuanya tidak lebih bernilai dibanding sosok pohon sawit. Banyak yang lebih bangga disebut sebagai produsen sawit nomer satu dunia, ketimbang sebagai pusat riset kehutanan, pusat kerajinan rotan, pusat obat herbal, penyumbang oksigen dunia, penjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati dunia, pusat eko tourism dan masih banyak lainnya yang bisa dilakukan ketika hutan terjaga keberadaannya. Pikiran kerdil, ternyata masih menjadi pemenang di negeri ini. Kekerdilan berpikir itulah yang kini dituai, asap pekat di mana-mana.

Matahari melimpah, panas bumi tidak diragukan lagi ketersediaannya, ombak tersedia di setiap pesisir, batubara tinggal keruk, gas banyak, minyak bumi ada, tetapi para pemimpin negeri ini masih saja merundungkan perkara krisis energy. Kegelapan masih mendominasi sebagian besar negeri. Krisis bukan karena ketiadaan, tetapi karena gagap dalam memanfaatkan.

Sumber belajar, melimpah. Setiap jengkal tanah adalah bahan materi sekolah. Tetapi banyak yang masih membingungkan gedung sekolah. Socrates, hanya punya taman dan kecerdasan untuk ‘menciptakan ‘ Plato. Negeri ini punya lebih banyak dari itu. Guru masih lebih percaya buku, ketimbang apa yang setiap berangkat dan pulang sekolah ia lihat. Guru lebih senang mengajar di kelas tentang pohon, ketimbang sambil santai mengajar di bawahnya. Ironi memang. Namun di tengah ironi itu saya punya keyakinan, negeri ini adalah sebuah inspirasi.

Tidak ada pahlawan yang dilahirkan dari suasana tanpa masalah. Peranglah yang melahirkan pahlawan, keterbatasanlah yang melahirkan innovator, kekacauanlah yang membuat nabi dihadirkan. Melihat negeri ini, siapapun kini berpeluang untuk menjadi pahlawan. Sampai ketemu di sepuluh nopember yang akan datang.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline