Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Mengganti Label Guru “Miskin”, Mungkinkah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Guru hidup dalam paradoks

Guru, bukan hanya sekedar sosok yang dihormati dalam masyarakat, tapi sekaligus dihindari. Banyak paradox yang melingkupinya di masyarakat. Termasuk beragam label yang melengkapi keberadaan profesi yang satu ini. Tetapi meski bagaimanapun juga, guru tetap ada dan dibutuhkan masyarakat dalam berproses membangun keadaban.

Sebagai pengajar, keberadaannya dikaitkan dengan keteladanan. Idiom Jawa menempatkan guru sebagai sosok yang harus “digugu” dan “ditiru”. Dalam terjemahan bebas, saya artikan sebagai sosok yang harus dipercaya dan diteladani. Pada konsep ini seorang guru dituntut memiliki integritas antara kata dan perbuatan.

Posisi demikian, terasa berat untuk disandang oleh siapapun. Sehingga menjadi guru, idealnya melalui proses seleksi yang panjang. Baik dari aspek kompetensi maupun kepribadian. Dilakukan secara akademik maupun social. Sehingga pada gilirannya sosok seperti yang diidiomkan tersebut terpenuhi.

Namun di sisi yang lain, posisi guru yang berat tersebut bersanding dengan pemahaman, bahwa pendidik bukanlah profesi komersil. Pengabdian, demikianlah kata untuk menjelaskan pemahaman tersebut. Sebagai pengabdi, totalitas profesi tersebut berpadanan dengan kata tidak boleh menuntut. Harus ikhlas, tanpa hal tersebut maka ‘kehormatan’ guru dapat runtuh. Hal ini tidak akan menjadi persoalan apabila guru memang tidak ‘dituntut’, namun apabila guru dituntut oleh keadaan dan juga masyarakat? Maka ‘pengabdian’semata bisa menjadi sumber persoalan.

Pahlawan tanpa tanda jasa, demikian himne yang dipatrikan untuk guru. Syair tersebut mengakar dalam masyarakat. Sehingga di era ‘ekonomi’ ini, guru bersepadan dengan penghasilan yang serba terbatas. Kenyataannya memang demikian. Pemahaman ini dapat membuat siapa saja yang telah sadar secara ekonomi, dengan halus dan juga tegas menolak untuk menjadi guru. Kecuali ketika anak-anak. Pada tahapan inilah sebenarnya paradok itu bermula.

Posisi yang dihormati, teladan, dan berat untuk dijalani semestinya adalah posisi yang lahir dari proses seleksi yang kompetitif. Terbatas, dan bukan untuk sembarang orang. Profesi yang disandang oleh orang-orang special yang lulus uji kompetensi akademik dan social. Tetapi ternyata, profesi ini tidak diminati, karena alasan-alasan ekonomi. Walhasil, profesi guru belum menjadi cita-cita bagi putra-putra terbaik di negeri ini. Ada yang menjadi guru, karena tak ada profesi lain yang dapat menerima. Termasuk pilihan utama ketika seseorang menentukan pilihan di perguruan tinggi, dengan pasti ; kuliah di Fakultas Keguruan dan ingin menjadi guru. Apalagi pilihan bagi mereka yang dinobatkan sebagai lulusan terbaik di SMA atau perguruan tinggi. Ironis memang, dan akan terus demikian ketika aroma financial masih menghantui perjalanan profesi ini. Di negeri ini memang telah ada perbaikan, namun belum ada sebuah pernyataan tegas bahwa upaya tersebut cukup signifikan.

Potensi profesi dan kompetensi guru

Pertanyaan mendasarnya, sampai kapan persoalan ini tuntas? Nanti, setelah ada upaya serius dari pemerintah untuk menjalankan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Sebab di negeri ini besaran persentase anggaran jelas-jelas di tuangkan. Agak aneh memang, namun pengalaman berbangsa-lah yang membuat para pengambil kebijakan perlu melakukan hal tersebut. Meski hingga kini pelaksanaannya masih “compang-camping”, dan belum terlihat nyata dan menyeluruh dirasakan oleh para pendidik di negeri ini. Lagi-lagi terganjal oleh “mental birokrat”. Siapapun yang prihatin pada situasi ini, jelas tak bisa menunggu pada ‘kebaikan’ para pengambil kebijakan itu. Bagaimana? Ini juga masih merupakan persoalan.

Mungkinkah guru ditempatkan dan berproses seperti apa yang menjadi ideal-idealnya? Apakah hanya persoalan financial, lalu ‘runtuh’ proses-proses yang dibutuhkan? Profesi ini tidak hanya terhormat, tetapi juga diminati sehingga melahirkan kompetisi yang ketat. Pada akhirnya sosok penyandangnya adalah pribadi-pribadi ‘terpilih’. Atau panggilan menjadi guru, dapat bersanding dengan pemahaman, pengabdian karena berkelimpahan, secara financial, spiritual, mental dan banyak lagi yang dibutuhkan masyarakat? Artinya, guru adalah “orang kaya” yang sedang berbagi. Pada pemahaman ini maka guru bukanlah sosok yang ‘kekurangan’ dengan banyak ‘keluhan’. Dengan begitu menjadi guru adalah benar-benar pilihan dan panggilan hidup.

Saya suka dengan kalimat, menjadi guru adalah ‘pilihan’. Karena ketika menjadi pilihan, guru bukan profesi sekedarnya. Seseorang bisa menjadi ‘apa saja’ tetapi dia mau menjadi guru. Bukan karena semata-mata tak ada lapangan pekerjaan lain yang mau menerima. Seperti bisa saja seseorang membeli mobil dan mengendarainya, tetapi memilih sepeda. Dari rasa, jelas ini berbeda. Jika hanya karena itu bisanya, maka akan berbeda jika memang itu pilihannya. Seperti padanan naik sepeda tadi. Akan berbeda jika seseorang hanya bisa membeli sepeda dan mengendarai sepeda dengan seseorang yang naik sepeda meski bisa membeli dan mengendarai mobil.

Profesi guru, sebenarnya bukanlah profesi yang dapat membuat seseorang miskin secara financial. Ada banyak peluang yang terbuka lebar terkait kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Bahkan tak dimiliki oleh profesi yang dianggap paling menjanjikan sekalipun. Namun sejauh mana potensi tersebut digarap dan memberi kelimpahan bagi seorang guru? Ini perlu upaya serius.

Potensi apa saja yang dapat memberi peluang bagi guru untuk berkelimpahan itu?

1.Pengetahuan

Calon pebisnis selalu menganggap modal materi sebagai ukuran utama, tetapi pebisnis handal melihat ‘isi kepalanya’ sebagai modal utama. Ada gagasan di sana, yang dalam pembangunan sebuah usaha sangat dibutuhkan. Uang bisa dicari jika ide berhasil dikonsep dan dikembangkan dalam bentuk rencana bisnis yang mendetail.Guru memiliki hal tersebut.

Guru memiliki pengetahuan, dan mampu menggali beragam ide sesuai kompetensinya. Guru menggunakan ‘kepalanya’ sebagai kekuatan utama. Artinya, guru punya asset yang sangat potensial itu. Tinggal menggunakannya.

2.Pembicara handal

Kemampuan guru dalam berbicara tak perlu diragukan. Bertahun-tahun ia yakinkan siswanya dengan bahasa dan gaya tuturnya. Komunikasinya dalam menyampaikan pesan, gagasan, dapat dikatakan cemerlang.Dalam masyarakat, kekuatan menyampaikan pesan secara benar dan tepat sangat dibutuhkan. Guru memiliki itu, tinggal dimanfaatkan.

3.Menganalisa dan Menulis

Kemampuan penunjang yang wajib dimiliki oleh guru adalah menganalisa dan menulis. Bukankah ini juga adalah potensi yang sangat besar. Terlebih di era informasi sekarang ini. Sehingga guru dapat memanfaatkan kompetensinya itu sebagai penyumbang konten, tanpa harus mengkhianati profesinya tersebut.

4.Koneksi

Dalam bisnis, koneksi atau link dianggap sebagai penunjang yang sangat penting bagi keberhasilan. Di dunia hiburan, fans dianggap memilki arti yang sangat signifikan bagi hidup matinya sang bintang. Perdagangan apapun jenisnya, tetap membutuhkan pasar. Guru memiliki modal itu. Seorang guru punya siswa, dan alumni yang jelas masih menaruh hormat, dan mungkin simpati yang besar. Tinggal mengelola.

Apa yang saya kemukakan adalah sebagian kecil yang dimiliki oleh guru, dan tidak menyalahi kodratnya. Guru dapat menghidupi profesinya, dan terus mengembangkan kompetensinya namun di sisi yang lain dirinya dihidupi oleh kompetensinya itu. Alhasil, guru akan setia pada profesi pilihannya tersebut. Mungkinkah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline