Lihat ke Halaman Asli

Julius Deliawan

https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Jakarta, Kota Simpatik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jakarta, itu kota yang simpatik. Saat-saat tertentu selalu mendapatkan kiriman. Bogor rajin kirim air menjelang akhir dan awal tahun. Ucapan selamat tahun baru kali ya? Sementara setelah lebaran, kota-kota lain di Indonesia selalu kirim kaum urban. Ada yang jadi pegawai, buruh murah, pedagang asongan, pembantu, dan masih banyak profesi lainnya, tak terkecuali ‘preman’. Kiriman-kiriman itu tak akan datang jika Jakarta tak tampil simpatik kan?

Kaum urban membuat Jakarta tambah penuh sesak, menurut penelitian di siang hari. Jika malam hari penduduk Jakarta berkurang separuhnya. Kemana mereka? Kota-kota sekitarnya, dengan menggunakan moda transportasi sejuta umat; sepeda motor. Murah, meriah, berbahaya. Belum lagi jika musim hujan tiba; para pengendara harus berjuang menghadapi banyak rintangan. Kemacetan, genangan, dan tentu saja air hujan. Sebagai pembayar pajak, para pengendara sepeda motor juga punya hak menggunakan jalanan sepenuhnya. Meski plat nomernya banyak juga yang belum dimutasi ke Jakarta. Bayar untuk kampong halaman, nuntut layanan dan lancarnya pada Pemda DKI.

Buktinya, saat hujan kemacetan Jakarta bertambah parah. Penyebabnya, bawah jembatan penyeberangan dan jalan layang dipenuhi pengguna sepeda motor yang neduh di tengah jalan. Sepeda motornya dibiarkan menutupi jalan, pengendaranya neduh di tepian. Prilaku khas Jakarta. Iseng-iseng negur atau tekan klakson kenceng, bisa gawat akibatnya.

Melihat mereka, jadi ingat jaman baheula waktu di kampong. Kalau jalanan becek, sepatu selalu di lepas, saying nanti cepat rusak. Lagian untuk dapat sepatu baru, meski nunggu tahun ajaran baru, itupun kalau panen baik. Kalau gagal panen jangan harap. Kayaknya prilaku itu masih berevolusi dalam bentuknya yang berbeda. Lebih rela membiarkan ratusan orang berjibaku menembus kemacetan dan guyuran hujan, ketimbang meminggirkan sepeda motornya dengan resiko kehujanan. “Bisa ngadat gak mau di starter nanti”, begitu alas an klasiknya. Barangkali sayang, apalagi masih lama lunasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline