Saya agak kaget, saat tayangan berita menyebutkan bahwa di posko pemenangan salah satu kandidat presiden sedang dideklarasikan dukungan oleh sekelompok masyarakat. Pasalnya pembaca berita menyebutkan, salah satu pelaku deklarasi tersebut mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari seluruh Indonesia. Tak disebutkan memang terdiri dari berapa universitas dan dari mana universitas tersebut berasal. Saya tak terlalu mempedulikan berapa universitas yang telah bergabung, tetapi pilihan mereka pada salah satu capres tersebut, cukup membuat saya terus berpikir. Prihatin juga sebenarnya.
Sedikit banyak saya mengerti seluk beluk lembaga kemahasiswaan, karena saya pernah kuliah dan jadi mahasiswa. Bahkan menjelang dan di awal reformasi, saya merasakan bagaimana teman-teman berjuang untuk melahirkan sebuah lembaga independen yang jauh dari campur tangan kampus dan pemerintah dalam berkreasi dan menyuarakan aspirasi mahasiswa.Mereka berpendapat, ada banyak kebijakan Negara yang dijalankan melalui pembantu rektor bidang kemahasiswaan mengkungkung mahasiswa. Ini tidak saja membuat mahasiswa tak berpolitik, tetapi sekian tahun berhasil menumpulkan daya kritis mahasiswa, terutama sejak diberlakukannya kebijakan NKK / BKK di masa orde baru.
Geliat reformasi menyadarkan berbagai komponen lembaga kemahasiswaan untuk mengembalikan independensinya. Bukan untuk berpolitik praktis, tetapi mengembangkan daya kritis sebagai bagian dari agent of change. Mulailah teman-teman memperjuangkan peran dan kesetaraannya dalam pengambilan kebijakan di kampusnya masing-masing. Bergaunglah ide Badan Eksekutif Mahasiswa, sebagai sebuah badan independen yang benar-benar berjuang dan bekerja bagi kepentingan mahasiswa. Karena menjadi lembaga yang berperan menyuarakan kepentingan mahasiswa, sudah barang tentu lembaga ini bukanlah lembaga partisan. Alasannya cukup jelas, suara mahasiswa di mana pun kampusnya pasti beragam.
Mengingat akan suasana saat itu dan apa yang baru saja saya saksikan di TV, terdapat realitas yang kontras. Begitu mudahkah saat ini mahasiswa pada satu kampus berpikir seragam, sehingga lembaga yang menyuarakan aspirasi mereka dengan mudah menjadi partisan? Karena dengan menjadi partisan untuk mendukung salah satu calon pada pemilu yang akan datang, terdapat beberapa hal yang kemudian menjadi catatan saya.
Pertama, menjadi partisan biasanya akan mempengaruhi objektifitas dalam memberikan penilaian. Padahal mahasiswa adalah pembelajar yang semestinya dapat mengkritisi secara objektif, tak terkecuali pada urusan calon presiden. Telaah-telaah akademik, semestinya jadi ukuran sehingga mengarahkan pilihan politik oleh lembaga mahasiswa terlebih lembaga tersebut adalah lembaga intra kampus, bagi saya ini dapat menumpulkan daya kritis dan yang pasti mengabaikan aspirasi yang berbeda pada kampus tersebut. BEM telah berlaku diskriminatif pada konstituennya. Kecuali memang telah melalui mekanisme organisasi, atau setidaknya referendum dukungan di masing-masing kampus.
Kedua, menjadi partisan membuat saya berpikir bahwa mereka tidak lagi dapat membedakan mana suara pribadi, dan mana suara organisasi. Saya dapat memahami apabila para fungsionaris lembaga mahasiswa terlibat dalam politik praktis dan ikut dukung-mendukung calon. Tetapi membuat seolah aspirasi lembaga seperti apa yang diaspirasikan oleh dirinya ini perlu dikritisi. Bagi saya mengeneralisir aspirasi mahasiswa yang sangat dinamis tersebut menjadi sangat naïf.
Tetapi saya tetap menghormati pilihan adik-adik tersebut, barangkali jaman sudah berubah dan daya kritis tak lagi diperlukan.Atau pilihan untuk mendukung calon tersebut adalah bagian dari implementasi daya kritis tersebut. Hanya mereka yang mendeklarisikan diri itulah yang paham.
*Penulis pernah menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas, di Salah Satu kampus di Jawa Tengah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H