Membaca judul di atas, barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang tertera di judul tersebut.
Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.
Hasil Rekonstruksi masa lalu
Objek kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita, namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
Rekonstruksi dan Berpikir kreatif
Seperti apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku, motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut. Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia. Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal.
Misalnya saja saat kita mempelajari sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha). Peninggalan yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat pada saat tersebut. Seperti; bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan. Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
Berdasarkan hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam mendeskripsikan hasil rekonstruksi selain atas dukungan imajinasi, juga harus dapat menghadirkan masa lalu pada pembacanya yang hidup di masa kini, sehingga intuisi dan gaya bahasa yang sesuai pun wajib digunakan. Jika demikian tentu sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain. Anda mau mencoba?
Tulisan lama penulis di blog ;