Keberhasilan KMP menggolkan UU Pilkada, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Masing-masing memiliki argumentasi pembenar, tetapi apa yang memang benar-benar dikehendaki rakyat, kita bisa tahu 5 tahun ke depan. Siapa yang perolehan suaranya banyak, itulah yang berkenan di hati. Dengan catatan rakyat tidak diserang penyakit lupa. Jadi jelas, mereka yang hari ini mengkhianati suara mereka, masih punya peluang menang. Seperti idiom politik, tak ada teman atau lawan abadi. Jadi tidak ada yang benar-benar menyakiti hati.
Fenomena kemenangan pengusung UU Pilkada via DPRD juga menarik untuk dicermati, bukan hanya pada apa yang telah terjadi, tetapi bagi perjalanan demokrasi ke depan. Satu diantaranya adalah bagaimana peran para elit partai dalam mengendalikan setiap anggota DPR dari partainya. Pada konteks ini elit (ketua partai) dominan mengambil peran dalam pengambilan keputusan. Sebab suara yang berbeda akan mendapat sanksi tegas organisasi. Pertanyaannya adalah, dimana bentuk keterwakilan rakyat di sini?
Benar seorang anggota DPR/DPRD diajukan oleh partai, tetapi ketika sudah terpilih bukankah berarti dia menjadi wakil dari konstituennya yang wajib hukumnya untuk di perjuangkan. Persoalannya apakah mereka menjalin komunikasi intensif dengan para konstituennya itu, atau justru mengedepankan agenda-agenda partai? Sebagai warga Negara yang memiliki hak pilih, belum pernah sekalipun di lingkungan saya ada acara dengar pendapat dengan para anggota DPRD apalagi DPR RI. Masih menurut saya, bukankah seorang anggota yang berdasarkan dapil tertentu ketika maju jadi anggota DPR / DPRD mewakili dapil tersebut dan bukan yang memilih saja. Jadi seandainya pun saya goput, saya masih harus mengakui bahwa orang tersebut adalah wakil saya dari dapil saya. Jadi tidak ada salahnya juga suara saya di dengar, seandainya ada forumnya. Sayang saya tidak melihat itu. Sehingga saya lebih melihat mereka mewakili kepentingan partai ketimbang suara-suara dari dapilnya.
Berdasar pernyataan saya di atas, timbul lagi pertanyaan. Mereka para anggota DPR /DPRD masihkah memiliki hak-hak pribadi yang jauh dari tekanan organisasi tetapi benar-benar mewakili keinginan konstituen di dapilnya masing-masing? Saya yakin, tidak jika suara konstituen berbeda dengan pandangan elit partai. Jadi apakah dia benar-benar wakil rakyat dari dapilnya? Anda bisa mencari jawaban sendiri. Menurut saya hal inilah alasan para anggota DPR/DPRD ini tidak mau lagi mendatangi konstituennya untuk kebijakan-kebijakan tertentu, takut menemukan fakta-fakta berbeda dari kebijakan partai. Sebab ini akan membuat mereka pada sisi dilematis. Jalan yang akan ditempuh saya yakin pragmatis, menghindari sanksi. Dan lagi Anda ditinggalkan !
Meyakini DPR /DPRD merupakan representasi keterwakilan rakyat, secara konstitusional memang harus. Tetapi meyakini bahwa mereka benar membawa kepentingan suara rakyat, saya pikir kita harus benar-benar cermat. Mereka bukanlah individu-individu merdeka, nurani mereka terkungkunng oleh kepentingan organisasi. Jika kemudian pada merekalah saya menyerahkan pemilihan seseorang yang akan menjadi pemimpin saya. Terus terang saya tidak ikhlas. Jika pun seandainya saya salah memilih pemimpin, itu resiko saya, saya akan evaluasi sesuai aturan konstitusi. Tetapi seandainya mereka keliru memilihkan pemimpin untuk saya, efek yang saya tanggung jadi ganda. Salah memilih wakil sekaligus menanggung perbuatan pemimpin. Nasib jadi rakyat jelata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H