Lihat ke Halaman Asli

David J. Prasetyo

Blogger - Content Writer

Opini Saya Tentang UU PPKS, Mas Menteri Sudah Benar

Diperbarui: 27 November 2021   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) mengesahkan Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 tentag Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi.

Menyusul disahkannya aturan ini, satu persatu sanggahan, kritikan dan berbagai tudingan mulai menghujani tubuh Kemendikbud. Hal ini karena sebagian mereka menganggap adanya celah untuk melakukan zina dengan basis "suka sama suka".

Disclaimer!!! Konten ini adalah opini pribadi penulis. Jika ada ketidak sesuaian dengan kehendak atau perbedaan sudut pandang dengan pembaca adalah hal wajar.

Salah satu yang dikecam dan mengundang kontra adalah pada pasal 5. Pasal ini mendefinisikan kekerasan seksual yang menjadi titik terbentuknya aturan ini. Dimana pada ayat pertama di pasal ini mendefinisikan yang cakupan kekerasan seksual yang meliputi kekerasan verba,fisik, nonfisik, hingga melalui media teknologi.

Menurut saya pada ayat ini, kemendikbud berupaya menghilangkan area abu-abu atau samar yang beberapa kali membingungkan dan menimbulkan tanya "Apakah tindakan ini termasuk pelecehan atau bukan?". Dengan terdefinisikan maka akan memperjelas suatu tindakan masih tergolong kekerasan seksual atau bukan.

Berlanjut pada ayat kedua, masih pada pasal 5, yang menyebutkan beberapa tindakan yang boleh jadi masuk kategori kekerasan seksual. Nah, pada ayat ini lah kontroversi mulai berdengung.

Beberapa hal yang diperdebatkan adalah :

  • b.   memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengajatanpa persetujuan Korban;
  • f.   mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan fotodan/atau rekaman audio dan/atau visual Korbanyang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  • g.   mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadiKorban yang bernuansa seksual tanpa persetujuanKorban;
  • h.   menyebarkan informasi terkait tubuh dan/ataupribadi Korban yang bernuansa seksual tanpapersetujuan Korban;
  • j.   membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, ataumengancam Korban untuk melakukan transaksi ataukegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  • l.  menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagiantubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuanKorban;
  • m.  membuka pakaian Korban tanpa persetujuanKorban;

Pada beberapa poin huruf di atas, terdapat frasa yang dianggap memiliki celah. Yakni pada frasa "tanpa persetujuan korban". Menurut beberapa pihak yang kontra, jika tanpa persetujuan korban bisa dianggap kekerasan seksual, maka jika dengan persetujuan dan berasas suka sama suka itu diperbolehkan. Dan hal ini sama artinya dengan memperbolehkannya seks bebas atau Zina.

Tapi Apakah Bisa Disebut Seks Bebas itu Legal?

Menurut saya, hal ini tidak dapat langsung diputusi demikian. Melihat konteks dan tujuannya dibuat Permendikbud tersebut maka akan ditemukan kesesuaian dengan isi.

Pertama, konteks permendikbud ini adalah Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ingat, KEKERASAN SEKSUAL. Dimana frasa kekerasan adalah ssesuatu yang tidak diinginkan dan memungkinkan menimbulkan pihak korban dan pelaku. Hal ini akan berbeda konteks lagi jika berdasar suka sama suka yang mana pasangan melakukannya sukarela dan tanpa paksaan. Sehingga tidak dapat menimbulkan korban ataupun pelaku. Bahkan menurut saya keduanya adalah pelaku tanpa korban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline