Lihat ke Halaman Asli

Keadilan untuk Orang Miskin vs Keadilan untuk Orang Kaya

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1411275456349002217

[caption id="attachment_343660" align="aligncenter" width="277" caption="Keadilan untuk orang miskin Vs Keadilan untuk orang kaya (sumber foto : annisaerlin.blogspot.com)"][/caption]

Akhir-akhir ini apa yang sering disebut dengan ketidakadilan semakin gamblang terlihat. Apa yang dialami oleh nenek minah, perempuan tua renta yang berdomisil di Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, yang memetik 3 biji buah kakao di vonis hukuman satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan.

Kisah nenek Minah hanyalah sepenggal cerita, betapa beratnya masyarakat kecil mencari keadilan hukum di negeri ini. Betapa banyak ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil atas 'ketidaksengajaan' nenek minah mengambil buah kakao sampai ketidakberdayaan kasman-warga gorontallo atas penyiksaan polisi karena tuduhan mencuri sebuah sepeda motor milik majikannya, yang belakangan tuduhan tersebut sama sekali tidak terbukti. Ketidakberdayaan masyarakat kecil atas ketidakadilan yang diterima telah melukai rasa percaya masyarakat yang mendamba dewi keadilan selalu menyapa hari-hari mereka yang selalu di rundung kemalangan hukum.

Lalu untuk apa hukum dibuat bila ketidakadilan yang selalu muncul?Ketika Prita Mulyasari harus terengah-engah mencari keadilan hanya karena keresahan yang ditumpahkannya lewat surat elektronik atas ketidakbecusan Rumah sakit Omni Internasional memperlakukan pasien, sementara Syamsul Nursalim pengemplang BLBI atau Anggoro Widjojo bebas berkeliaran dan berlindung diri di luar negeri.

ketika Jaksa Ester hanya di vonis 1 tahun penjara atas kepemilikan 300 butir ekstasi sementara rakyat biasa yang kedapatan memiliki 1 butir ekstasi harus dihukum 4 tahun penjara. Ketika anggodo melaporkan penyadapan atas alat komunikasinya dengan dalih bahwa ia adalah warga negara biasa yang bebas untuk berkomunikasi dengan siapa saja dan sampai saat ini masih bebas berkeliaran sementara fakta bahwa ia telah mencoba melakukan penyuapan begitu gamblang diperdengarkan dalam sidang terbuka dan terbuka untuk umum Mahkamah Konstitusi.

Lantas kemana kita mesti mencari keadilan ketika negara tak lagi tunduk pada hukum (Government is not under the law)?Ketika amanat reformasi sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR nomor X Tahun 1998 tidak lagi dijalankan secara konsekuen. Ketika pemerintah terus sibuk menggodok RPP penyadapan/intersepsi sementara PP nomor 83 Tahun 2008 yang mengatur bantuan hukum cuma-cuma bagi si empunya miskin, yang di teken oleh Susilo Bambang Yudhoyono tak jelas implementasinya karena nenek Minah, JJ Rizal, sampai Prita terus 'berteriak' mencari keadilan. Support koin menjad salah satu simbol perlawanan atas bungkamnya nurani pemerintah bagi masyarakat miskin yang mendamba keadilan.

Bila kenyataan pahit ini terus menjadi mimpi buruk kita, masih pantaskah berharap pada pemerintah? ataukah negara harus dilenyapkan dan kemudian dibentuk kembali seperti apa yang menjadi cita-cita Mao Tse- tung sebelum ia menjadi tokoh tersohor di Cina. Sepertinya kita harus terus berpikir terhadap berbagai ketidakadilan yang sering kita rasakan.

Terhadap Pemerintah yang semakin jauh dari cita-cita melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline