Lihat ke Halaman Asli

Juarisman Sitinjak

Jalinan kata yang menjadi makna

"Haruskah Selalu Nrimo?" Sebuah Tinjauan terhadap Falsafah

Diperbarui: 9 Juni 2021   10:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat hari itu tiba, notifikasi di perangkat seluler pun muncul yang pengirimnya adalah kode jurnal kredit penanda gaji masuk. Tak lama kemudian, notifikasi jurnal kredit tersebut disusul dengan beberapa jurnal debit sehingga hanya menyisakan sedikit senyuman pelipur lara untuk menjalani sisa hari. Di hari itu yang tersisa mungkin hanyalah rasa syukur yang mendorong jiwa untuk tetap tenang dalam sebuah rencana penghematan besar. Ya, menerima sebuah keadaan yang terjadi dengan kerelaan untuk menerima dan menjalaninya.

Di hari lain, ketika jari-jemari sedang bergegas bersama jajaran huruf di keyboard komputer untuk menyelesaikan deadline, langkah kaki yang sudah sangat akrab di telinga mulai mendekat. Sesaat setelah langkah kaki tersebut berhenti, suara sepatu pun berganti menjadi kata-kata yang cukup meyakinkan untuk mengelus dada dan berkata dalam hati "Sabar, terima aja."

Ungkapan yang umum bagi budaya Jawa dalam menyikapi keadaan seperti contoh di atas disebut "nrimo." Istilah ini sangat erat kaitannya dengan unsur kesabaran dan kerelaan untuk menerima kondisi atau keadaan tertentu.

 Bahkan ada seorang antropolog yang bernama Niels Mulder mendefinisikan nrimo sebagai sikap menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil menumbuhkan kedamaian jiwa dan ketenangan emosi dengan meyakini bahwa semuanya sudah ditetapkan oleh Tuhan. Jadi sering muncul ungkapan "Sudah disyukuri aja!" atau "Sabar ajahh!" bahkan pada titik tertentu seseorang bisa menerima meskipun dalam keadaan terpaksa.

Contoh sebuah peristiwa nyata mengenai hal ini yaitu sebuah organisasi yang seorang pemimpinnya tergolong otoritatif, dan berbagai kebijakannya cenderung mencari nama bagi diri sendiri. Satu per satu staf mulai mengundurkan diri akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan. Dalam pengamatan terhadap kasus ini ternyata yang tidak mengundurkan diri mayoritas adalah orang yang berasal dari suku Jawa. Meskipun ada juga orang dari suku selain Jawa, tetapi memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda yaitu memilih NRIMO daripada konfrontasi dan mendatangkan risiko bagi pekerjaan mereka.

Contoh pengalaman pribadi yang pernah saya alami adalah ketika kehilangan uang dalam jumlah yang cukup besar. Setelah mengumpulkan bukti-bukti, kehilangan uang tersebut mengindikasikan pelakunya adalah anggota keluarga sendiri. Namun untuk tetap menjaga agar hubungan tetap baik dan tidak ada konflik, maka saya memutuskan untuk tidak melaporkan kejadian tersebut. Saya bukan berasal dari suku Jawa, tetapi dalam peristiwa ini saya merasa sikap tersebut menjadi pilihan terbaik. Belakangan saya sadar sikap tersebut tidak tepat.

Dari penelusuran beberapa literatur, falsafah Nrimo ini bisa berakar kuat khususnya bagi masyarakat berlatar belakang budaya Jawa adalah karena beberapa faktor berikut:

Yang pertama, karena Jawa dalam sejarah berada di bawah pimpinan kerajaan. Sehingga tata cara kehidupan orang jawa memiliki jiwa kehambaan atau pengabdian kepada pemimpin. Sikap tersebut dianggap positif untuk menunjukkan rasa hormat kepada otoritas.

Yang kedua karena kekuasaan penjajah belanda dan jepang di pulau jawa turut andil dalam membentuk sikap nrimo dalam masyarakat jawa khususnya masyarakat kelas bawah pada masa kolonial.

Yang ketiga keharmonisan relasi merupakan sesuatu hal yang penting bagi masyarakat jawa. Sehingga masyarakat jawa cenderung menghindari pertentangan, perdebatan atau perbedaan pendapat.  

Namun ada dampak negatif yang harus diwaspadai dari perilaku nrimo ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline