Saat ini sedang berlangsung Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) di Sydney, Australia, daritanggal 6 hingga 9 Oktober 2010.Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan sebagai pembicara utama menyatakan bahwa negara berkembang di satu sisi berusaha mengurangi kemiskinan dengan memperbesar investasi pendidikan dan kesehatan, tetapi juga menghadapi adiksi tembakau. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Jumlah perokok di Indonesia adalah nomor 3 di dunia, sementara jumlah batang rokok yang dikonsumsi merupakan nomor 5 di dunia dan pabrik rokok terbanyak di dunia, yaitu 3.800 pabrik rokok dengan jumlah batang rokok yang diproduksi 230 miliar batang. Apakah prestasi in cukup membanggakan???
Berbagai penelitian tentang rokok telah terdokumentasikan dengan baik. Bukti-bukti ilmiah ini seharusnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam penetapan kebijakan tentang pengendalian tembakau. Tetapi apa mau dikata, pemerintah seolah menutup mata, hati dan telinga dalam persoalan tembakau. Seharusnya pemerintah berkewajiban melindungi rakyatnya dari adiksi tembakau.
Walau berbagai program terkait kemiskinan telah diluncurkan, namun kenyataannya jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Faktanya, konsumen rokok terbesar di Indonesia adalah warga miskin.Walau miskin, mereka tetap merokok. Ketagihan tembakau/rokok telah menghilangkan logika berfikir dan akal sehat. Perokok miskin lebih memilih membelanjakan uang yang terbatas untuk membeli rokok dibandingkan makanan bergizi buat keluarganya. Porsi belanja rokok yang dikeluarkan setiap bulan melebihi belanja pendidikan dan kesehatan.
Di berbagai negara, program pengurangan kemiskinan telah dikaitkan dengan program pengendalian tembakau, dan berhasil. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Perlu ketegasan pemerintah dalam menyikapi permasalahan tembakau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H