Mengingat perekonomian global saat ini, isu-isu terkait aspek etika dalam transaksi keuangan menjadi semakin mendesak untuk diperhatikan. Dengan kompleksitas keuangan modern, penerapan aturan fiqiyah menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa setiap transaksi mencerminkan nilai-nilai fundamental Islam. Tujuan artikel ini adalah mengkaji dan memperdalam penerapan kaidah fiqiyah dalam transaksi keuangan, dengan fokus khusus pada aspek terkait riba.
Pentingnya pemahaman yang mendalam tentang riba dalam konteks hukum Islam tidak hanya mencakup aspek teologis, tetapi juga menjadi pokok bahasan dalam merancang dan melaksanakan transaksi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip fiqih. Sejalan dengan hal ini, artikel ini akan membahas konsep riba dalam fiqih, mengidentifikasi prinsip-prinsip kaidah fiqiyah yang relevan, serta menguraikan bagaimana penerapan kaidah-kaidah ini dapat membimbing transaksi keuangan agar tetap mematuhi nilai-nilai etis Islam.
Pemahaman yang mendalam terhadap kaidah fiqiyah dalam transaksi keuangan tidak hanya membuka jalan bagi praktik keuangan yang sah secara hukum, namun juga memberikan landasan moral yang kuat dalam pengambilan keputusan keuangan. Dengan mempertimbangkan perspektif terkait riba dalam konteks fiqh, kita dapat memulai dialog dan memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diintegrasikan ke dalam keuangan modern.
Aturan-aturan yang mempengaruhi Riba utang:
- Aturan pertama riba pra-islam
Pernyataan ini mengacu pada praktik riba pra-Islam dan mungkin terkait dengan konteks sejarah atau sosial Arab pra-Islam. Riba sudah dikenal di masyarakat Arab bahkan sebelum masuknya Islam dan digunakan untuk transaksi ekonomi. Namun, riba yang umum pada saat itu adalah bentuk uang tambahan akibat keterlambata pembayaran utang. Oleh karena itu, riba dapat diartikan sebagai penerimaan uang tambahan dari transaksi penjualan atau hutang dan piutang dengan cara yang curang atau bertentangan dengan aturan syariat Islam.
- Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan Riba
Menjelaskan larangan terhadap memperoleh kekayaan secara tidak sah. Islam menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Artinya "sesuatu yang berlebihan (dalam urusan niaga) yang ditetapkan dan diberikan kepada seseorang tanpa memberikan nilai yang seimbang kepada seseoraang yang lain yang sama-sama menyetujui sesuatu perjanjian dalam suatu pertukaran nilai mata uang yang melibatkan kedua belah pihak.
- Setiap penambahan utang yang bersyarat sesuai dengan jangka waktunya adalah riba.
Mengacu pada konsep riba dalam konteks hukum Islam. Pernyataan ini memaparkan pandangan Islam terhadap praktik penambahan hutang atau bunga pada transaksi keuangan, apalagi jika penambahan tersebut bersifat kondisional dan terikat pada jangka waktu tertentu. Riba dilarang dalam Islam dan aturan ini ditentukan dalam Al-Qur'an.Riba mengacu pada berbagai bentuk keuntungan atau keuntungan tambahan yang diperoleh dengan meminjam dana atau harta. Pernyataan ini menegaskan bahwa tambahan utang karena tenggat waktu dianggap riba. Artinya, membebankan bunga atau bunga tambahan atas utang dalam transaksi keuangan dianggap melanggar prinsip hukum Islam.
- Setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba atau setiap pinjaman yang manfaatnya ditentukan terlebih dahulu adalah riba.
Riba berkaitan dengan waktu dan penundaan pembayaran hutang. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa mengenakan manfaat atau biaya tambahan sebagai imbalan atas penundaan pembayaran pinjaman termasuk riba.Konsep ini dilarang dalam Islam karena melanggar prinsip keadilan ekonomi.
Contoh penerapannya Andi meminjam uang sejumlah 1.000 kepada temannya Fatim untuk jangka waktu satu bulan. Fatim menetapkan bahwa Andi harus membayar kembali uangnya sejumlah 1.050 setelah satu bulan, dengan tambahan 5% sebagai bunga. Dalam konteks ini, penambahan 5% sebagai imbalan atas pinjaman uang selama satu bulan dapat dianggap sebagai riba an-nasi'ah, karena manfaat atau tambahan tersebut dikaitkan dengan penundaan pembayaran pinjaman.
- Tidak ada dua penjualan dalam satu penjualan
Setiap pihak yang terlibat dalam suatu transaksi harus mendapat informasi yang jelas dan tidak boleh ada unsur penipuan. Dengan kata lain, transaksi tersebut harus adil dan masing-masing pihak harus mengetahui secara pasti apa yang mereka beli atau jual dan syarat-syarat yang terkait dengannya.
Prinsip "Tidak ada dua penjualan dalam satu penjualan" juga dapat diterapkan dalam penyewaan properti. pemilik properti tidak boleh menetapkan harga sewa yang berbeda atau memberikan fasilitas yang berbeda kepada penyewa yang memiliki kondisi dan persyaratan yang setara.