Lihat ke Halaman Asli

Meminjam Kabayan untuk melihat Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini saya berpendapat, modal sosial sebagai sebuah asset tidak saja melulu berada pada kutub positif yang menguatkan suatu komunitas, tapi juga berpotensi sebaliknya. Ambil contoh toleransi yang bernilai positif dalam suatu komunitas plural, bisa jadi sesungguhnya justru menggambarkan sikap ketidakpedulian. Jangan-jangan pada posisi seperti ini sikap Kepo justru bernilai positif. Apalagi jika dikaitkan dengan kasus uang nasabah Golden Traider Indonesia syariah (GTIS) yang dibawa kabur pengurusnya. Unsur trust yang dimiliki  nasabah _masyarakat terhadap nilai syariah dalam model investasi ini, justru menjadi manipulative dan tidak bernilai  manfaat bagi nasabah. Sangat bermungkinan syariahnya  tereduksi menjadi negative, karena kitaterbiasa melihat segala sesuatu secara sepotong-potong. Lalu terjadilah untrust terhadap kelembagaan perbankan.

Nah,kalau bicara yang lebih besar lagi, dalam konteks Indonesia misalnya, untuk kebutuhan kedepan, apakah kita masih berpikir menempatan Indonesia sebagai negara cinta damai yang tidak memihak?Atau jangan-jangan sudah saatnya sebagai sebuah bangsa, Indonesia mesti mencari arah lain, dengan menetapkan apa atau siapa musuh bersama kita ? misalnya saja kita menetapkan kapitalism dengan prinsip efesiensi dan produktivitasnya sebagai musuh bersama.Alasannya sistim ini cenderung mengisap dan tidak akan pernah memiliki rasa puas dan cukup.

Penjelasan sikap penolakan ini dapat dirujuk dari negara Bhutan yang tidak mengunakan indikator Produk Domestik Bruto untuk melihat kesejahteraan, melainkan mengunakan konsep Kebahagian Nasional Bruto dengan cara mengetahui berbagai keterbatasan yang dimiliki dan mengetahui seberapa banyak adalah cukup.

Dan jauh-jauh hari,kurang lebih konsep ini sudah tergambardalam pola hidup subsistensi dengan mengambil secukupnya dari alamsebagaimana  dikembangkan oleh banyak komunitas adat. Tapi sayangbagi sebagian orang, hal ini dianggap tertinggal karena dinilai tidak produktif. Gambaran lainnya dapat kita temui dari karakter dan guyonan Kabayan dengan seorang Turis Asing. Kabayan, yang cenderung dilihat “bermalas-malasan karena tidak bekerja, justru   sikapnya itu menabrak logika berpikir turis asing, yang mesti bekerja keras terlebih dahulu untukdapat “bermalas-malasan” dengan berwisata ke pelosok-pelosok negeri.

Sekarang bagaimana dengan Indonesia ? sudahkah sejahtera? sudahkah bahagia? Atau kita akan berpikir seperti Kabayan  dengan menyandarkan diri pada pengertian subjective well-being sebagai sebuah jalan tengah, yang  barangkali tidak juga terlalu ketengah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline